Siapa pernah mendengar atau membaca bahwa ada 3 kata
pamungkas di dunia ini? Salah satu diantaranya adalah MAAF. Maaf
lazimnya diucapkan ketika kita berbuat salah. Begitu kurang lebih stigma paling
sederhana yang digeneralkan oleh masyarakat kita.
Semoga ini hanya pengamatan aku secara pribadi bahwa dibanding dengan 2 kata pamungkas lainnya (permisi dan terima kasih), maaf jauh lebih susah diucapkan. Sebenarnya, secara gerak gerik tubuh, semua orang sudah terbiasa menunjukkan permohonan maaf nya. Contoh sederhananya saja, ketika tidak sengaja menyenggol orang di keramaian atau memanggil orang yang sedang buru-buru ternyata salah nama. Namun, maaf tidak jarang bukan pilihan kata yang terucap, melain "eh" sambil menyodorkan lima jari ke depan. Jika kita sebagai "korban"bukan kekerasan pada konteks itu, kita pasti paham bahwa tanda itu adalah isyarat dari "sorry aku gak sengaja".
Semoga ini hanya pengamatan aku secara pribadi bahwa dibanding dengan 2 kata pamungkas lainnya (permisi dan terima kasih), maaf jauh lebih susah diucapkan. Sebenarnya, secara gerak gerik tubuh, semua orang sudah terbiasa menunjukkan permohonan maaf nya. Contoh sederhananya saja, ketika tidak sengaja menyenggol orang di keramaian atau memanggil orang yang sedang buru-buru ternyata salah nama. Namun, maaf tidak jarang bukan pilihan kata yang terucap, melain "eh" sambil menyodorkan lima jari ke depan. Jika kita sebagai "korban"
Memasuki momen pandemi
dimana kita harus diam diri di rumah aja, media sosial jadi satu-satunya
perantara untuk kita tetap bisa saling komunikasi. Untuk urusan apapun, dari
yang cuma sekadar tanya kabar hingga diskusi intens yang menguras tenaga kuota.
Nah, menyambungkan dengan pembahasan kali ini, budaya 'lupa maaf' jadi sangat riskan
terjadi di momen semua serba online. Balasan lewat chat yang
hanya tergambar lewat kata tanpa nada seringkali membawa urusan yang tidak
sederhana. Mungkin saja hati yang kita ajak chatting lagi
sedang tidak baik, jadinya dia merasa bercandaan kita menjatuhkan. Karena kita
tidak merasa, ya jelas kita tidak mengetikkan balasan berupa: "maaf ya
kalo aku bercandanya kelewatan."
Untuk kasus di atas,
boleh deh kita bernegosiasi lagi kalau hal tersebut bisa
terjadi karena miss komunikasi. Masih masuk akal. Namun, bagaimana untuk yang
satu ini: membiasakan hanya membaca pesan penting orang lain apalagi
kalau pesan itu jelas butuh jawaban?
Jika kita adalah pelaku,
kurang lebih pasti begini respon kita, "Maaf, kebaca doang abis itu
kependem". Dan jika kita adalah korban, kurang lebih kita pasti akan
memaklumi. Terlepas ikhlas atau tidak, kita akan melontarkan balasan, "Ya
gapapa kok, aku ngerti." Mencoba paham bahwa setiap orang punya
kesibukan yang berbeda-beda.
Namun, lagi dan lagi,
banyak juga konteks lain yang terjadi dalam hal balas membalas mendam
memendam pesan. Ini adalah kondisi lain yang tampaknya juga sering
terjadi: lupa bilang maaf karena telah memendam pesan, seolah lupa
bahwa kita pernah melakukannya, dan kembali mengirim pesan penting pada orang
yang hanya kita baca pesannya bagai chat sebelumnya tidak pernah terjadi. Hmm, untuk
yang satu ini memang jelas menjengkelkan sekali. Nah, kondisi
seperti inilah yang ingin aku bahas pada postingan kali ini. Terlepas dari aku
mungkin pernah melakukannya juga, berarti tulisan ini juga menjadi refleksi
bagi aku pribadi.
Maaf itu Budaya, Bukan
Hanya Sekadar Kata
Aku
percaya dan aku yakin kalian juga percaya bahwa hal-hal kecil yang terbiasa
kita lakukan adalah karena dibiasakan. Baik ataupun kurang baik. Dan nyatanya,
hal-hal yang kecil ini lebih susah dilakukan dibandingkan dengan aksi-aksi
besar yang kita targetkan. Begitu kurang lebih hasil aku menggali pemikiran dan
pandangan, ya. Membiasakan hal-hal kecil nampak jadi sesuatu yang
terlihat "sepele" bagi kita. Ya, memang melakukan
hal-hal kecil nampaknya dampak yang diperoleh juga kecil. Pemikiran-pemikiran
kita yang seperti ini sampai menggugurkan pemahaman kita bahwa: segala
sesuatu yang besar dibangun dari dan oleh sesuatu yang kecil.
Kembali
mengaitkan dengan pembahasan kita di atas, aku harap kita sama-sama setuju
bahwa "bilang maaf ketika lupa membalas chat sesegera mungkin"
adalah hal kecil. Kira-kira apa buktinya? Hmm, coba tinjau
ulang saja semua resolusi masing-masing dari kita setidaknya resolusi mendesak
selama pandemi, apakah hal ini termasuk goal yang kita tuju
untuk diperbaiki dan ditingkatkan selama komunikasi virtual ini suka
tidak suka sangat dibutuhkan?
Tanpa mengurangi hormat
dan apresiasi pada teman-teman yang sudah membiasakan "bilang maaf
ketika lupa membalas chat", tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk
penyudutan bagi kita yang memang dasarnya sibuk. Namun, ada beberapa hal yang
seharusnya bisa sama-sama kita pikirkan sebagai dasar mengapa hal ini harus
kita biasakan.
1. Setiap orang juga
punya kesibukannya sendiri, jangan biarkan mereka menunggu
Rasanya sangat tidak
etis bagi kita untuk punya kebiasaan buruk baru yaitu membandingkan siapa yang
lebih sibuk diantara aku dan dia. Apalagi kalau jelas-jelas kita seumuran,
masih dengan status yang sama. Beda kasus jika kita berurusan dengan mereka yang
nyatanya memang punya jam terbang yang lebih tinggi termasuk dengan jam kerja
yang beda dengan kita seperti mereka yang lebih tua dan yang sudah lebih berpengalaman. Contohnya tentu bisa dibuat sendiri, tidak perlu dijabarkan lagi.
2. Hati-hati bisa banyak gap informasi
di sana sini
Meninggalkan pesan
penting seseorang (yang notabene membutuhkan jawaban) dalam keadaan dibaca saja
bisa menimbulkan dampak ganda: yang dibaca sudah paham atau yang dibaca
mengacuhkan pesan yang ada. Jika sebelum pandemi hal-hal seperti ini masih
nampak biasa saja, tapi lain halnya dengan ketika pandemi dimana
komunikasi virtual jadi satu-satunya harapan. Apa
susahnya sih meluangkan waktu tidak sampai 5 detik untuk
bilang "Oke, laksanakan" untuk pesan yang hanya butuh
konfirmasi kepastian dan waktu beberapa menit untuk pesan yang butuh keterangan
lebih lanjut? Dan tapi jangan lupa, jangan sampai hanya kita balas "Oke", lantas kita lupa apakah pesan itu harus diteruskan lagi pada orang lain yang berkepentingan atau tidak. Jangan sampai kita jadi orang yang "oke-oke doang", tapi gak melaksanakan. Permudah urusan sendiri dan juga orang lain dengan tidak menunda hal-hal kecil seperti menindaklanjuti pesan penting.
3. Kalau tidak sekarang,
kapan lagi mau dibiasakan?
Pertanyaan retorik
inilah yang menjadi dasar paling mendasar mengapa aku mengangkat topik ini pada
postingan hari ini. Balik lagi ke konteks momen pandemi. Momen pandemi harus
kita manfaatkan sebagai peluang untuk sama-sama berlatih membiasakan hal kecil
ini. Posisikan kita berada di posisi orang yang chat pentingnya hanya kita
baca. Hiperbolakan pikiran kita bahwa si pengirim pesan pasti punya maksud
mengapa harus kita yang dia atau mereka hubungi. "Jangan-jangan kalau
kita tidak balas dia jadi sangat khawatir bakal ada salah tangkap informasi
atau bahkan jawaban kita sangat dia tunggu untuk mengabari dan mengonfirmasi
pada orang lainnya". Syukur-syukur semakin kita biasakan, kita semakin
mudah memanjatkan rasa syukur dengan cara yang paling sederhana: tidak
membebankan orang lain hanya dengan tenaga dari jari-jari ringan kita menyentuh
deretan huruf di ponsel.
Kembali ke Judul, Jadi
Jawabannya Apa?
Sepertinya cukup ya 3
poin saja untuk pembahasan di atas. Setidaknya 3 poin itulah yang aku selalu
berusaha ingat-ingat saat lagi berhadapan dengan banyak chat masuk
di media chatting. Sekarang kita kembali kepada judul: apa yang
lebih penting dibandingkan maaf dalam konteks membalas chat?
Sederhana, 5 kata saja: berusaha kurangi kebiasaan itu lagi. Apresiasi untuk kita yang telah terbiasa bilang maaf ketika pesan orang hanya kita baca, tetapi yuk coba sama-sama kita berlatih untuk berusaha sebisa mungkin mengurangi kebiasaan tersebut.
Semoga pembiasaan
sederhana ini bisa membawa manfaat untuk kelancaran komunikasi kita di masa
pandemi seperti ini. Terima kasih untuk teman-teman yang mau saling
mengusahakan. Yuk, kita bisa berkembang semakin baik dari hal-hal
yang kecil :)
Special thanks to teman lama yang
ikut request topik ini.
Sampai jumpa di Rabu
Rabu selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar