Gak terasa ya kita udah sekitar 3 bulan #dirumahaja. Gak sedikit dari kita yang udah gelisah banget nih. Slogan "Ayo produktif walau di rumah aja" kok gak gampang juga ternyata buat dijalanin. Sebelum nutup selimut malam hari, di pikiran udah berusaha bertekad, "besok pokoknya aku harus ngelakuin ini dan ini". Ternyata begitu ketemu pagi, ada aja halangan yang bikin mager atau jadinya kita negosiasi lagi, "gapapa deh. Masih ada besok." Begitu terus, sampai gak kerasa hari berganti cepat banget.
Alih-alih biar bisa makin produktif, media sosial jadi harapan kita untuk cari tahu informasi tentang banyak hal. Mulai dari magang, kegiatan relawan secara virtual, lomba, dan tawaran lainnya, kita semua bisa terhubung lewat media sosial yang sekarang jadi teman selama di rumah aja. Dengan media sosial juga kita tetap bisa keep in touch dengan teman-teman yang lama gak ketemu. Lewat media sosial juga kita bisa tetap "mantau" sekarang teman kita lagi ngapain, ada kesibukan apa, dan lagi ikut kegiatan apa aja.
Selama di rumah aja, kita jadi mulai menemukan pola hidup yang baru termasuk juga mengalaminya: scrolling timeline - kerja - scrolling timeline - istirahat. Lebih banyaknya alokasi waktu yang kita gunakan untuk menggunakan media sosial dan interaksi jarak jauh dengan orang lain ternyata membuat gejala baru yang gak sedikit orang mengalaminya. Selama beberapa bulan sejak pandemi ini, gak sedikit dari kita pasti pernah terlibat dalam percakapan dengan satu atau beberapa teman yang ngomongin soal: insecure. Buat kalian yang mungkin belum familiar dengan kata "insecure", secara sederhana insecure bermakna sebagai perasaan tidak aman yang bisa terjadi saat kita merasa malu, bersalah, kekurangan, atau bahkan tidak mampu.
Kenapa Bisa Insecure?
Dalam blog ini, aku gak bakal ngebahas kemunculan insecure dalam sudut pandang yang ilmiah, ya. Rasa-rasanya anak psikologi harusnya lebih kompeten untuk bahas soal ini.
Terlibat dalam satu atau beberapa chat dengan teman yang ngomongin soal insecure, biasanya gejala insecure muncul ketika kita melihat "kok rasanya teman kita bisa tetap produktif yang selama di rumah". Belum lagi, rasa insecure ini akan makin berkembang ketika perasaan udah mulai memuncak ke arah membandingkan kita dengan orang lain, "kok aku masih gini-gini aja tapi temanku bisa?."
Mengamati gejala-gejala ini ternyata menarik banget, teman-teman. Kalo ditanya "Ren, kenapa berani nulis soal ini?", tujuannya adalah supaya teman-teman jangan merasa bahwa insecure datang hanya kepada kalian. Kalian gak sendiri kok. Aku rasa setiap orang pun setidaknya pernah rasain, termasuk aku juga.
Nah, karena kita pernah sama-sama ngerasain juga, aku terpikir mau challenge diriku untuk berbagi pandangan pribadiku terkait insecure dan mungkin tips yang aku coba lakuin kalo lagi ngerasa insecure khususnya selama pandemi ini. Let's check these out!
Sumber Gambar: Unplash.com |
Insecure Itu Positif Selagi Bisa Mengolahnya
Buat aku pribadi, gak jarang berbagai hal yang aku coba bahkan yang aku tekuni sekarang adalah karena bermula dari perasaan insecure. Aku yakin banyak orang juga begitu. Tapi mungkin kadang yang membedakan orang yang satu dan yang lainnya adalah letak seberapa lama kita terus menikmati rasa insecure itu dan kemudian take decision untuk mengolah rasa insecure jadi sesuatu hal yang bisa buat kita keluar dari zona nyaman.
Berani Ngaku ke Diri Sendiri Saat Insecure
Sepertinya udah kenyataan kalau kita ini memang makhluk paling susah "jujur" ke diri sendiri. Rasa apapun yang kita alami apalagi perasaan negatif pasti susah banget buat kita akui. Tapi, di saat yang bersamaan kita cerita ke orang lain kalau kita lagi begini dan begitu. Nah, berdasarkan buku-buku yang sering aku baca apalagi yang berkaitan dengan self reflection, aku mencoba mencari inti dari semuanya, bahwa jalan keluar harus datangnya dari dalam diri. Suka tidak suka kita harus mulai belajar untuk jujur ke diri sendiri tentang semua emosi yang kita rasain; baik positif maupun negatif. Senang, sedih, bangga, kecewa, optimis, khawatir, termasuk juga insecure. Kenapa harus gitu? Analoginya adalah seperti kita dihadapkan dengan ujian akhir. Sebelum menjawab, tentu kita harus paham maksud dari soal sehingga kita jadi tahu gimana proses yang harus dituangkan sampai mencapai jawaban paling maksimal dan memuaskan. So, tunggu apalagi? Yuk, kita sama-sama belajar jujur, jangan cuma ke doi aja :)
Setiap Orang Punya Pilihan di Kesempatannya Masing-Masing
Kesadaran ini penting banget menurutku. Kadang kita sering membandingkan diri sendiri sama orang lain dalam hal sesuatu yang bukan porsinya. Contohnya begini, kita insecure saat melihat A bisa mendapatkan kesempatan X padahal jelas-jelas kesempatan X tidak available untuk kita. Contoh gampangnya mungkin pada kesempatan magang atau beasiswa - kesempatan X memang menawarkan syarat-syarat yang semuanya bisa dipenuhi oleh A tapi tidak oleh kita. Program studi contoh paling sederhananya.
Lalu, gimana untuk sesuatu kesempatan yang bisa sama-sama kita dapatkan? Balik lagi bahwa perlu kita belajar nerima bahwa setiap orang punya pilihannya masing-masing. Filtering, itu penting. Setiap orang tentu punya bayangan yang beda-beda mau membentuk dirinya dalam beberapa waktu mendatang. Jadi, rasanya gak relevan saat kita membandingkan proses yang kita harus lalui ketika menuju goal C dengan proses yang harus teman kita lalui ketika menuju goal D. Untuk menuju goal C kamu butuh mengambil kesempatan C1 hingga C tak hingga. Teman kita pun tentu beda, untuk menuju goal D, dia butuh mengambil kesempatan D1 hingga D tak hingga.
Belajar Bilang "Belum" Daripada "Tidak"
"Program studiku sama atau pekerjaanku sama, tapi dia bisa kok aku enggak?". Nah, ini bentuk insecure yang paling banyak kita temui bukan?
Untuk kasus yang satu ini, aku pernah diskusi dengan seorang teman yang memang senang membaca tentang "pikiran". Dan dari percakapan itu, aku bisa menangkap bahwa pikiran kadangkala juga yang menjadi boomerang untuk kita terlalu cepat membatasi diri. Kita terlalu sering memenangkan pikiran jelek kita yang seperti ini, "Ah, dia mah bisa karena punya A B C hingga Z, aku apa?". Padahal, di lain sisi, orang yang kita pikirkan tadi juga memikirkan hal yang sama tentang kita. Nah loh, kita saling insecure ternyata sangat mungkin terjadi! Kita terlalu sering membela diri gak bisa melakukan sesuatu yang dilakukan orang lain dengan dalih kita gak punya ini sementara orang lain punya ini. Nah, daripada kita bilang gak bisa, lebih baik bilang "belum bisa", karena itu menandakan pasti akan ada saatnya kita juga bisa. Tapi tetap, dengan kapasitas kita masing-masing :)
Mungkin cukup sekian sharing-sharing aku pada kesempatan ini. Untuk teman-teman yang mau request tulisan tentang sesuatu bisa melalui akun instagramku (@novirenetania). Atau boleh juga kita nulis sama-sama. Kapan lagi kita bisa membagi energi positif hanya dengan nulis?
Sampai ketemu lagi di postingan ku berikutnya, ya. Semoga teman-teman tetap sehat dan tetap produktif selama #dirumahaja.
Terima kasih kak irene. Tetap menulis hal inspiratif kak! Aku dukung :))
BalasHapusTerima kasih Nandita. Semoga sukses selalu ya dek :)
Hapus