“Setiap orang punya
ceritanya masing-masing. Mungkin tak berharga bagi yang lain, tapi baginya
pasti memiliki kesan tersendiri. Tak ada yang dapat menilai dengan kuantitas
seberapa bermakna cerita itu. Sebab, sesungguhnya cerita itu tentunya tak
terlepas dari metamorfosis perjalanan hidupnya”
Dan inilah ceritaku.
Jawaban dari judul
postinganku kali ini bermula dari sebuah event tahunan sekolahku, SMA Negeri 1
Bekasi, yang biasa disebut BOB (Best of
The Best). BOB ini merupakan acara yang diselenggarakan oleh sekolahku
untuk menyeleksi siswa-siswi yang berminat mengikuti olimpiade. Beberapa anak
di sekolahku sangat antusias mendengarnya. Mereka dengan cepat mendaftar dan
sesudahnya langsung belajar. Tak satu atau dua anak kujumpai mereka membaca
buku pegangan olimpiade untuk menghadapi BOB itu. Bahkan, mereka dengan
antusias mengikuti pembinaan tutor sebaya dengan kakak kelas yang pernah
mengikuti bidang yang sama di tahun sebelumnya.
Tapi tidak dengan aku. Aku
tidak pernah bermimpi dan berangan-angan mencicipi apa itu olimpiade. Dulu, di
benakku, olimpiade hanyalah wadah bagi mereka yang memang sudah dianugerahi
kemampuan intelektual yang luar biasa dari Sang Pencipta. Mindset itulah yang membuatku tidak berminat sama sekali untuk ikut
seleksi BOB itu.
Tibalah saatnya
formulir pendaftaran itu sampai ke kelas-kelas, termasuk kelasku. Rupanya,
panitia BOB telah membuat peraturan bahwa setiap kelas harus mengirimkan
minimal 3 perwakilannya di tiap mata pelajaran (Sekadar informasi, bidang
olimpiade yang tersedia untuk tingkat SMA ada 9 yaitu Matematika, Fisika,
Kimia, Biologi, Komputer, Ekonomi, Geografi, Astronomi, dan Kebumian). Jika ada
satu bidang saja yang sama sekali tidak ada yang mendaftar, maka ada WO yang
harus dibayar ke panitia.
Sialnya, saat itu di
kelasku, ada beberapa bidang yang belum dilirik oleh teman-teman. Mereka
rata-rata menumpuk nama mereka di bidang studi yang sudah lebih dari 3
pendaftar. Alhasil, aku harus mendaftar agar aku tidak menjadi bagian yang
membuat kelasku harus bayar WO. Di saat itulah, entah kenapa, aku menuliskan
namaku pada Bidang Geografi, mungkin karena aku merasa aku tidak mumpuni di
bidang ipa yang kupelajari di kelas (aku kebetulan adalah siswa jurusan IPA)
dan kebetulan mata pelajaran lintas minat ku adalah Geografi.
Setelah pendaftaran
itu, aku seperti tidak peduli dengan semua rangkaian menuju seleksi BOB itu.
Yang aku tau adalah aku hanya gak mau
kelasku bayar WO. Titik. Disuruh ikut pembinaan tutor sebaya, aku pulang.
Temanku sibuk mencari buku pegangan, aku diam-diam saja. Ya, begitulah aku saat
itu.
Hingga singkat cerita,
aku lolos seleksi BOB itu. Aku pun masih tak paham kenapa aku bisa lolos. Aku
benar-benar isi seadanya, bisa dibilang
gak mikir bahkan. Karena namaku masuk ke dalam daftar yang lolos, maka
tibalah kegiatan Pembinaan Olimpiade setiap Sabtu-Minggu yang diajar oleh
kakak-kakak medalist OSN di
tahun-tahun sebelumnya. Karena motivasi aku ikut seleksi olimpiade hanya karena
gak mau WO, tentunya aku 99% sudah
berniat tidak mengikuti pembinaan. Tetapi, tiba-tiba aku berpikir untuk
mengikuti pembinaan yang perdana. Hal itu aku dasari hanya agar aku cukup tau saja seperti apa pembinaan olimpiade
dan sesudahnya aku dapat kembali menjalani masa SMAku tanpa embel-embel anak
olim.
Tiba di hari itu, aku
pun masuk ke kelas pembinaan. Banyak dari mereka yang kelas 11 dan ada beberapa
orang yang sebaya denganku, kelas 10. Singkat cerita, tutor pertamaku yang
bernama Ka Rio Saumun Qodri (Mahasiswa Akuntansi UI yang merupakan medalist OSN Geografi 2013) memberiku first impression pada olimpiade yang
sampai kapan pun tidak akan aku lupakan. Bahkan, sampai hari ini dan
seterusnya. Saat itu, ia bercerita pengalamannya sebagai anak daerah yang
berkecimpung di olimpiade. Ia bercerita tentang ia yang persiapan OSK hanya 7
hari dan yang paling aku ingat, ia yang saat OSN harus baca buku diam-diam
karena bukunya sudah jelek. Cerita panjangnya ditutup dengan kalimat “aku yang anak daerah aja, dengan
keterbatasan yang ada, aku bisa. Masa kalian yang sudah lengkap fasilitasnya ga
bisa”.
Selain cerita
inspiratifnya, aku sangat terharu dengan sikapnya. Saat itu, ia memberikan kuis
pengetahuan umum (Ya, jadi karena Geografi itu adalah ilmu yang sangat
mementingkan aspek keruangan, maka ilmu yang dipelajari harus ditunjang dengan
pengetahuan umum yang ada) dan dia sangat sabar menghadapi kebodohanku. Ini
sungguhan. Pertama kali aku pembinaan, yang aku tau cuma letak negara ASEAN,
selebihnya aku tidak tau (apalagi
sampai negara-negara yang dempet-dempetan di daerah Eropa, jangankan tau bahkan ada beberapa negara yang
namanya pun belum pernah sama sekali aku dengar). Menghadapi ketidaktahuanku
yang luar biasa sekali, ka Rio tetap dengar sabar dan sambil tertawa-tawa
selalu memotivasi bahwa suatu saat aku akan bisa.
Tentunya kalian sudah
tau kan bagaimana aku selanjutnya ? Pilihanku pun berubah. Aku terus
melanjutkan pembinaan itu. Jadi, satu minggu full aku berada di sekolah. Tiap
Sabtu dan Minggu kulewati untuk ikut pembinaan, dari jam 08.00 sampai jam
15.00. Tak ada satu kali pun aku izin tidak ikut, Meskipun begitu, aku belum
mempunyai rasa apa-apa terhadap geografi. Semuanya aku jalani agar aku bisa
menemukan feel di bidang itu. Aku
belum begitu fokus untuk mengikuti pembinaan. Dan mungkin ini adalah
kesalahanku. Karena aku belum ada rasa suka, aku hanya sekadar mendengarkan,
menyimak PPT di depan, dan mencatat. Bahkan beberapa kali jika aku sudah bosan,
aku sambil mengerjakan tugas Kimia dan Matematika yang harus dikumpulkan esok
harinya (Ini sesuatu yang tidak patut dicontoh).
OSK-ku
Tahun Pertama
Setelah aku menghadapi
pembinaan Sabtu-Minggu selama kurang lebih 12 kali, kami semua, tim olimpiade
sekolah diintensifkan di Bandung kurang lebih seminggu untuk persiapan terakhir
sebelum seleksi pertama yaitu seleksi tingkat kota. Nah, disaat itulah, aku
baru menemukan minatku untuk belajar geografi. Hal itu aku sadari saat aku
membaca buku dan tanganku refleks mencari tambahan informasi tentang yang sedang
kubaca di Mbah Gugel.
Tak lama, baru ku
dengar sebuah pembicaraan bahwa sekolahku, selama 3 tahun, belum pernah ada
satu pun orang yang berhasil melaju ke tingkat provinsi di bidang geografi.
Sekolah mengaku sudah melakukan persiapan yang maksimal, tetapi belum ada yang
berhasil. Bahkan, salah satu sekolah di Bekasi menjadi langganan juara OSK
Geografi dari tahun ke tahun. Mendengar cerita ini, ada sedikit perasaan yang
terbersit di hati “Kenapa saya baru
dengar ini sekarang?,”
Tibalah saat hari
pertandingan itu tiba. Hasilnya tentulah aku gagal. Minat dan sukaku baru
tumbuh sehingga persiapanku pun belum matang.
Tahun
Kedua Saatnya Aku Memilih
Tibalah aku duduk di
kelas 11. Berita BOB tahun 2017 kembali terdengar. Disaat itulah, aku
menghadapi kegelisahan yang luar biasa. Kegelisahan itu datang karena banyak
sekali nasihat dan saran dari teman-temanku tentang aku yang berniat
melanjutkan kembali olimpiade di bidang Geografi.
“Saranku sebaiknya pindah, Ren. Kamu bisa coba pindah ke bidang lain.
Mungkin ke Kebumian, masih mirip-mirip sama Geografi kok,” kurang lebih
begitulah saran mereka karena mereka adalah bagian yang ikut mendengar berita
bahwa sekolahku tidak pernah menjadi juara OSK Geografi tingkat kota selama
Olimpiade Bidang Geografi resmi diselenggarakan di Indonesia.
Aku mencoba
berkonsultasi dengan setiap orang. Kakak kelas, kakak pengajar, guru, teman
dekat, bahkan orang tua. Hasilnya adalah semua pilihan itu ada padaku. Dan
akhirnya, aku pun memilih untuk kembali melanjutkan tahun keduaku masih di
bidang yang sama, Geografi.
Dalam
ilmu Matematika, segala sesuatu yang walaupun kecil kemungkinannya, masih bisa
disebut sebagai peluang. Bukan kemustahilan. Tak ada salahnya aku mencoba
kembali dengan persiapan yang lebih matang. Selain itu, aku berpikir jika aku
pindah ke bidang lain, aku yakin bahwa yang ada hanyalah sifat membandingkan
bidangku yang baru dan yang telah aku tekuni. Pasti akan sulit bagiku untuk
kembali beradaptasi dan memunculkan rasa suka itu,
begitulah alasan aku kembali memilih untuk lanjut di bidang yang sama.
Untuk menghadapi seleksi
olimpiade di tahun kedua, persiapanku pun tentu jauh berbeda dari tahun
sebelumnya. Bisa dibilang bahwa aku benar-benar mencurahkan perhatian penuh
pada persiapan olimpiade di kelas 11. Segala sesuatu tentunya punya dampak.
Begitu pun denganku. Berfokus total pada olimpiade membuat perkembangan nilai
akademik ku di kelas mengalami banyak penurunan dari nilaiku sebelumnya. Belum
lagi, aku tidak pernah mau untuk mengikuti les dan tambahan dari guru sehingga
nilai aku pun banyak yang turun bahkan salah satu pelajaran turun melesat sampai
6 poin dan pelajaran itu adalah salah satu pelajaran inti bagi siswa IPA.
Selain itu, di kelas 11, selain mengikuti olimpiade, waktuku juga banyak
teralokasi mengikuti esktrakurikuler. Aku hanya punya dua eskul, yaitu Pramuka
(yang di sekolahku bernama Chadika) dan ECC (English Conversation Club), tetapi
aku berusaha untuk aktif di kedua-keduanya. Di ECC, aku terpilih menjadi wakil ketua
TENSES 5 (Lomba Bahasa Inggris SMP dan SMA se-Jabodetabek) dan di Chadika pun
aku memasuki tahun menjabat sehingga banyak sekali agenda mulai dari pelantikan
(yang diawali dari persiapan-persiapan) sampai menyelenggarakan Hut Chadika
(Lomba Pramuka se-Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten). Perkembangan nilai
akademik bukan berarti tidak kupedulikan, tetapi aku pun berani mengakui
mungkin saat itu aku tidak menjadikannya sebagai prioritas. Mungkin aku sedang
jenuh atau mungkin memang aku benar-benar tidak bisa membagi fokusku saat itu.
Singkat cerita, tibalah
kembali pembinaan intensif di Bandung. Sekolahku, SMAN 1 Bekasi, bisa dibilang
merupakan sekolah yang beruntung karena mendapatkan kuota 10 orang tiap bidang
studi, begitu juga dengan Geografi. Tetapi sayangnya, tahun ini hanya 3 orang
yang berangkat. Entahlah mengapa, mungkin semua orang sudah terdoktrin denga
berita kemustahilan itu. Meskipun begitu, aku tetap bersyukur. Menurutku,
kuantitas itu tidak selalu berarti penting, 3 orang yang berangkat dengan
kemauan yang sungguh-sungguh sejatinya lebih mampu memberi afirmasi positif
bagi semangat belajarku.
Disana, tentunya, aku
yang sudah mengikuti pembinaan intensif ini 2 kali selalu berusaha memberi dan
saling mengingatkan satu sama lain. Rutinitas aku, Erika, dan Permata di
Pelatihan Intensif hingga pelaksanaan OSK 2017 selengkapnya bisa dibaca di Saat Kami Belum Bisa Melihat Derasnya Aliran Sungai Kampar
Semua
Memang Sudah Ada Skenarionya
Beberapa hari sebelum
pengumuman OSK, saya mengingat figure seorang Erika yang mungkin tidak bisa
saya lupa. Ia tampak gelisah menunggu pengumuman itu. Ketakutan untuk kembali
gagal tidak bisa kami pungkiri. Saat aku sedang tidak ada guru di kelas, ia
seringkali bolak-balik ke kelasku hanya untuk menanyakan kapan pengumuman. Kami
mencoba saling menguatkan. Bangku cokelat di depan kelasku menjadi saksi atas
suasana haru itu.
“Tenang Ren, sekalipun semuanya terlihat mustahil, Tuhan akan
memperhitungkan segalanya,” begitulah kata-kata darinya yang akan selalu
saya ingat sampai kapanpun.
Gembar-gembor berita
pengumuman OSK di sekolah sudah terdengar. Jam 8 pagi dijadwalkan, tetapi jam 8
kurang 15 menit pun kami belum menerima instruksi dari guru pembimbing siapa
saja murid yang menjadi 10 besar OSK tiap bidang studi. Setidaknya saya gagal, saya sudah melakukan yang terbaik dari yang bisa
saya lakukan, begitulah aku mencoba menenangkan diri dan mengikhlaskan setiap
hal yang mungkin terjadi.
Sampai pada akhirnya..........
Singkat cerita, saya
dan Erika berhasil memecahkan telur di tahun ini. Saya di posisi 6 dan Erika di
posisi 10. Hal itu menandai sejarah pertama SMAN 1 Bekasi menjadi juara di OSK
Geografi Kota Bekasi, walaupun saat itu belum tahu berapa orang yang akan
diambil untuk melaju ke tingkat Provinsi. Terlepas dari itu, yang tersisa
hanyalah rasa syukur. Syukur karena aku tak menyerah begitu saja pada kegagalan
di tahun kemarin. Syukur karena aku telah menutup telinga untuk mendengar
nasihat orang yang berkata tidak mungkin.
Menunggu berapa orang
yang akan dibawa untuk lanjut ke tingkat Provinsi, aku tetap mempersiapkannya.
Aku masih ingat betul, aku sampai mengorek celengan untuk print soal-soal dari berbagai Olimpiade Geografi di
universitas-universitas dan soal-soal OSP (Olimpiade Sains Tingkat Provinsi)
yang belum aku punya sampai aku meminjam buku Pelatnas (Pelatihan Nasional
menuju Tahap Internasional) Kebumian dari kakak kelasku yang dipinjamkan pada
teman kelasku. Tetapi, sayangnya
kenyataan berkata lain. Aku menjadi orang yang pertama yang tergunting dan
tidak bisa melanjutkan ke tingkat Provinsi. 5 orang diatasku berhak untuk
berangkat ke tingkat Provinsi. Kecewa. Naif jika aku memungkiri rasa itu. Setidaknya saya gagal, saya sudah
melakukan yang terbaik, begitulah aku kembali mencoba menghibur diriku
sendiri.
Dan ya, OSK 2017 itu
adalah kesempatan terakhirku di SMA untuk bisa melaju ke tingkat Nasional dan
kedua kalinya aku gagal. Tidak mendapatkan kuota untuk melaju ke Provinsi
menandakan aku harus berhenti sampai disitu dan menguburkan mimpiku dalam-dalam
berangkat ke Riau (tuan rumah OSN 2017).
Ambisiku
Tak Lepas Begitu Saja
Menyadari bahwa aku
telah gagal menjadi bagian dari ajang yang bergengsi dan prestisius itu, aku
mencari berbagai macam lomba yang bisa mengasah kemampuan dan minatku di
geografi. Momen itu penting bagiku sebab tutor-tutorku selama pembinaan selalu
berkata bahwa OSK bukan satu-satunya ajang untuk mengukur kemampuan dan tidak
selalu setiap gagal OSK, mimpi itu harus runtuh dan lenyap. Aku pun memutuskan
untuk mencoba kembali Olimpiade Geografi (OLIPS) tingkat SMA/MA yang diadakan
oleh Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Jakarta tingkat Jawa
dan Bali. Di tahun 2016, aku pernah mengikuti lomba yang sama dengan tingkat Jawa
Barat, DKI Jakarta, Banten dan baru berhasil menjuarai Harapan III. Di tahun
ini, aku berpartner dengan Erika
(lomba ini memang diadakan tim, setiap tim terdiri dari 2 orang).
Singkat cerita, lomba
ini terdiri dari banyak tahap yang kira-kira tahapan seluruhnya sekitar 3 bulan,
dimulai dari seleksi wilayah, seleksi tahap II (bagian 5 tim tiap kota),
seleksi tahap III (bagi 12 tim terbaik), seleksi semi final (bagi 8 tim
terbaik), dan seleksi final (bagi 5 tim terbaik untuk memperebutkan juara I
sampai Harapan II). Syukur yang tak terhingga, aku dan Erika bisa melewati
semua seleksi ini dan kami berhasil menjadi Juara I.
Saat penyerahan hadiah,
MC mempersilahkan kami berdua untuk maju dan memberikan sedikit kesan-kesan.
Saat itu, juri dalam lomba ini yang sedang mengambil S2 Pengelolaan Pesisir di
Jerman, bertanya pada kami, “Mengapa kalian mengikuti lomba ini?,”
Mendapat pertanyaan
yang demikian, aku dan Erika saling tersenyum dan berpandangan. Menebus kegagalan di OSN, begitu jawab
kami padanya dan pada berapa ratus orang yang berada di ruang grand final itu.
Prepare
for the Next Chapter
Tuntasnya kegiatan
olimpiade di SMA ini membuatku berpikir sejenak. Mau kemana aku setelah ini ? Pembicaraan
tentang SNMPTN dan SBMPTN menjadi akrab di kalangan siswa kelas 12. Sejak aku
menyukai dan sudah nyaman belajar Geografi, aku sudah menaruh minat diam-diam
untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Fakultas
Geografi yang memang hanya dimiliki oleh Universitas Fadjah Mada (UGM) juga
menjadi saran dari tutor-tutorku jika aku memang ingin menekuni geografi lebih
jauh dan lebih dalam lagi. Selain itu, Fakultas Geografi sudah mempunyai track record yang sangat baik bahkan
sampai internasional dan menjadi tempat pilihan para medalist OSN dan bahkan tingkat internasional yang ingin melanjutkan
ilmu geografinya. Tetapi keinginanku itu tidak pernah kuutarakan pada siapapun.
Pertimbangan jarak UGM yang jauh dan berbagai macamnya membuatku melihat
sepertinya orang tuaku lebih cenderung menyarankan UI untukku.
Sampai pada akhirnya,
di bulan Desember 2017, aku mengikuti Pra Intensif SBMPTN selama 1 minggu di
sebuah lembaga bimbingan belajar di Depok, tempat kakaku bekerja. Kegiatan
intensif berlangsung dari pukul 9 pagi sampai jam 6 sore. Pada paginya, aku
ikut kakaku ke tempat kerjanya di Balai Riset dan Budidaya Ikan Hias, Depok. Disitulah
aku mendapatkan sebuah ilham yang akhirnya aku memutuskan mengikuti kata
hatiku.
“Ren, kamu mau lanjut
kuliah dimana?,” tanya salah seorang rekan kakaku. Pertanyaan ini muncul
setelah aku bercerita-cerita dengannya tentang Geografi yang telah mengisi masa
SMAku.
“Kesehatan Lingkungan
UI ka,”
“Itu keinginan kamu
bukan?,” darr ! Pernyataan sederhana
itu seperti petir menyambar di pagi buta. Aku tersentak. Kelu. Aku bahkan tidak
pernah bertanya seperti itu pada diriku sendiri. “Kalo milih jurusan itu harus
sesuai minat kamu, Ren. Jangan sampe kamu salah pilih dan kamu ga bisa
menyalahkan siapapun nantinya dan kamu harus menjalani itu seumur hidup kamu,”
ia melanjutkan perkataannya.
Setelah itu,
sekembalinya aku dari tempat les, kakakku mengajakku untuk berbincang.
“Aku ngebolehin kamu
deh ke UGM. Lanjutin aja apa yang udah kamu mulai,”
Sejak pembicaraan saat
itu, entah mengapa semangat belajarku kembali. Aku semakin giat mempersiapkan
SBMPTN karena aku tidak mau menaruh harapan pada jalur undangan. Aku semakin
giat belajar mempersiapkan SBMPTN dengan harapan aku hanya perlu berusaha
sedikit lagi untuk menemui mimpiku dan melanjutkan minatku.
Pilihanku
Berlabuh pada UGM di Laman SNMPTN
Setelah pengisian PDSS,
aku ternyata mendapat kesempatan untuk bisa mendaftar SNMPTN 2018. Seperti
cerita yang telah aku bahas di awal, perkembangan nilai akademikku sudah tidak
karuan. Banyak sekali nilai yang naik turun, bahkan nilai rata-rata mata pelajaran
wajibku terbilang cukup, tidak semenakjubkan seperti teman-temanku yang lain.
Saat itu banyak sekali yang berkata bahwa aku cukup nekat untuk memilih UGM
dengan nilai segitu karena memilih UGM berarti aku harus lintas provinsi yang
kata orang peluangnya lebih kecil dibanding memilih universitas yang masih
berada di satu wilayah dengan provinsi asal sekolah). Aku mencoba berkonsultasi
dengan siapapun, baik guru BK, teman dekatku, kakaku, dan orang tuaku tentang
jurusan yang aku harus ambil. Saat itu yang terpikir adalah bukan prodi apa yang
harus aku pilih supaya lolos SNMPTN tetapi aku tidak mau menjadi orang yang
buang-buang kesempatan. Ini tidak berarti juga aku harus membanting stir pada
jurusan yang sama sekali gak aku suka
hanya untuk mendapat tulisan “lolos”. Hingga akhirnya, tibalah di mana pengisian
prodi pada laman SNMPTN 2018 dan sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk
memilih Fakultas Geografi UGM atau SBMPTN. Ketika aku melakukan finalisasi, aku
tinggalkan embel-embel lolos SNMPTN (karena aku tahu bahwa aku hanya berharap
pada 3 sertifikat yang aku unggah).
Selama seleksi SNMPTN,
aku semakin meningkatkan effort ku
untuk belajar SBMPTN untuk prepare jika
aku ditolak di undangan dan aku butuh waktu yang cukup lama untuk kembali
membangun semangat belajarku. Aku selalu berusaha meningkatkan pemahamanku
untuk menjawab soal-soal Fisika dan Matematika IPA lebih banyak pada setiap Try
Out SBMPTN karena untuk masuk ke Fakultas Geografi aku harus menempuh SBMPTN
Saintek (IPA). Selama itu pula, aku juga harus menyelesaikan kegiatan dan
berbagai macam ujian di kelas 12 mulai dari ujian praktek, USBN (Ujian Sekolah
Berstandar Nasional), dan UNBK.
Singkat cerita, tibalah
hari pengumuman SNMPTN. Sebelum melihat hasilnya, aku berusaha untuk
mempersiapkan hatiku untuk kembali bangun dengan cepat apabila tulisan “merah”
yang aku lihat nanti. Kalau ditanya aku optimis atau gak lolos undangan, aku
gak tau. Tapi ketidakoptimisannya lebih besar sih karena prodi pilihan pertamaku, Pembangunan Wilayah, hanya
menyediakan 27 kursi melalui jalur SNMPTN. Ya,
bayangkan saja ya se-Indonesia berebut kursi yang terbilang sedikit itu. Selain
itu, dilihat dari track record tahun
lalu, Pembangunan Wilayah tidak menerima satupun siswa dari Jawa Barat melalui
jalur SNMPTN.
Jam menunjukkan pukul
17.00 WIB, aku langsung mengetik nomor pendaftaran dan melihat hasil seleksi.
Menunggu sebentar. Mungkin websitenya
down. Tidak lama setelah itu, aku
melihat tulisan “Selamat, Anda dinyatakan lolos SNMPTN 2018”. Ya, aku lolos di
pilihan pertama, Pembangunan Wilayah – Fakultas Geografi- Universitas Gadjah
Mada (UGM).
Apa yang terbersit di
benakku pertama kali ?
Bukan gembira karena telah lolos undangan tetapi bahagia
karena sebentar lagi aku akan kembali menekuni hal yang telah aku mulai. Bahagia
karena aku akan menekuni kembali geografi setelah aku gagal berangkat ke
nasional. Bahagia karena aku akan bertemu mereka yang tidak sempat aku temui di
ajang besar itu.
Lalu, mengapa aku
memilih Pembangunan Wilayah ?
Pembangunan Wilayah
merupakan salah satu program studi yang berada dibawah naungan Fakultas
Geografi, Universitas Gadjah Mada. Prodi ini lebih menitikberatkan pada pengkajian
sumber daya wilayah dan membangun kompetensi dalam hal melaksanakan program
atau proyek pembangunan, baik sectoral maupun berorientasi wilayah dengan
menggunakan metode analisis geografis dan teknik-teknik perencanaan pembangunan
wilayah serta aplikasi SIG (Sistem Informasi Geografis).
Selama belajar di
olimpiade, aku sangat menaruh minat pada pembahasan tentang Geografi
Pembangunan dan Geografi Perkotaan. Menurutku, hal ini sangat menarik. Dari
segi prospek pun permasalahan tata ruang menjadi semakin kompleks sehingga dibutuhkan
para ahli yang mampu menata dan menyelesaikan permasalahan tata ruang dan
wilayah yang lebih akurat dan sistematis
Big Thanks
Terima
kasih untuk setiap orang yang telah mendukungku. Tutor-tutorku : Ka Rio
(Akuntansi UI), Sandy (Hubungan Internasional UI), Ka Rafika (Ilmu Ekonomi UI),
Ka Syifa (FEB Unpad), Ka Dzaki (Manajemen UI), Ka Nuresa (Alumni FITB ITB), Ka
Zachary (FITB ITB), Ka Maska (FITB ITB), dan Ka Asthina (Alumni FITB ITB), guru-guru
yang selalu memberikan dukungan dan fasilitas, teman-teman dekatku, kakakku,
keluargaku dan orangtuaku, serta semua yang telah mendukungku untuk berkembang
yang mungkin tidak bisa kusebutkan satu persatu.
Terima
kasih pula untuk setiap orang yang telah mengecilkanku. Aku sadari bahwa
cibiran dan penilaian negatif juga berperan penting dalam pengembangan diri
setiap orang.
***
Aku
adalah salah seorang yang pernah gagal untuk menjadi bagian dari ajang yang
prestisius itu. Aku adalah yang gagal menginjakkan kaki di sana dan bertemu
dengan anak-anak hebat dari seluruh penjuru tanah air. Bahkan aku tidak pernah
merasakan leherku dikalungkan medali kebanggaan itu. Aku belum pernah melalui
itu semua, bahkan aku tidak dapat merasakan semua itu di masa putih abu-abuku.
Tapi bagiku, perjalanan menuju kesana, ke-OSN, telah mengajarkanku banyak hal.
Tentang berjuang secara tulus, tentang melihat sesuatu daripada sudut pandang
yang berbeda, dan untuk selalu sederhana sebab begitu banyak orang hebat di
tanah air ini. Dan pada akhirnya, mengikhlaskan adalah hal yang harus aku
miliki sekarang. Bagiku, berjuang untuk sesuatu yang aku sukai adalah sebuah
kebanggaan. Terlepas dari hasilnya yang mungkin menggembirakan atau bahkan
mengecewakan. Dan kini, biarlah aku berlabuh lebih jauh dan akan aku bagikan
kembali ceritaku ketika aku kembali merapat nanti.
Irene:'''') how I love your writings, and as a person who know a piece of your story of struggle, I could proudly say, you deserved this and all the goods in the world. Lastly, selamat mengakar kuat menjulang tinggi, Novirene Tania.
BalasHapus-tertanda, 16317
Kalo boleh tau, pilihannya apa aja kak, selain pembangunan wilayah? hehehe :)
BalasHapus