Bisa karena biasa. Begitu aku mau memulai postingan kali ini.
Dari kecil memang aku tumbuh dalam tangan orangtua yang begitu konstruktif. Bukan ambis, tapi mungkin lebih tepat jika disebut 'Mama adalah orang pertama yang menginspirasi aku bahwa belajar adalah kebutuhan -- lebih dari sekadar kewajiban'. Jadi, aku dan kaka sejak kecil gak melulu belajar hanya pelajaran wajib di sekolah, tapi kami selalu diperbolehkan berlangganan Majalah Bobo. Dari kebiasaan sederhana itu, aku dan kaka mulai mengenali dunia yang sungguh luar biasa hebat. Gak hanya tentang sesuatu yang berupa wawasan nyata seperti bacaan Lawang Sewu - Bangunan Seribu Pintu, tetapi juga mengenal dunia fantasi melalui Cerita Nirmala atau Bona dan Rongrong. Aku berani bilang: dengan membaca kita jadi tau bahwa banyak hal yang bisa dibayangkan secara out of the box, dunia fantasi misalnya.
Nirmala di Majalah Bobo Bacaan Favoritku Sumber Gambar: Youtube Dongeng Anak Petulangan Oki Nirmala |
Bona Rongrong di Majalah Bobo Bacaan Favoritku Sumber Gambar: Youtube Bona and Friends - Sahabat Selamanya |
Mama juga mengenalkan aku pada satu poin penting lainnya: beri teladan dengan mencontohkan. Mama bukan sarjana, tapi dia paham betul bahwa untuk mengajar seorang anak yang terpenting adalah kemauan. Pada dasarnya, gaada satu pun anak kecil yang tau-tau tumbuh jadi maniak belajar. Begitu pun aku dan kaka. Mama bagai alarm. Setiap sore menyambut magrib, mama udah tengkurap di ruang tamu membuka buku tugas kita. Mau gak mau ya kita juga harus ikutan. Terpaksa awalnya, tapi lama-lama ya mencoba menikmati aja. Sekarang saat udah gede, aku baru sering sadar bahwa tabiat disiplin yang ditularkannya untukku, semua ada manfaatnya.
Sesekali kita juga sering uring-uringan dan males ngerjain PR. Di saat itu, Mama bukan tipe kebanyakan ibu-ibu jaman sekarang yang bakal ngomel A-Z bahwa belajar itu penting. Sambil diselingi ngemil, ngobrol, terus bacain bacaan yang ringan serasa didongengin sampe kita bisa recharge lagi energi setelah ketawa atau takjub karena tau sesuatu yang baru. Ingat betul aku waktu pertama kali baca fakta bahwa ternyata ada Bangunan Lawang Sewu yang aku sebutin di atas. Bukan main takjubnya. Norak sih ya kelihatannya, tapi siapa kira sekarang hal-hal kecil kaya gitu bisa jadi modal aku untuk 'mencoba tertarik sama banyak hal baru sampe bisa jadi bahan tulisan'.
Sudah jadi teorinya kalau belajar butuh paket komplit lainnya. Membaca, jadi saudara kembar menulis. Berawal dari mengenal sesuatu lewat membaca, pelan-pelan mencoba menulis. Awalnya corat coret asal di dinding putih rumah (paham lah ya anak-anak semua pasti punya hobi begitu) sampai mulai beralih ke buku diary yang sekarang kalo dibaca ulang kok agak gimana gitu rasanya wkwk
Buku Diary Jaman Kecilku |
Singkat cerita, aku tumbuh seperti anak kebanyakan. Fokus sekolah. Semakin naik tingkat lebih sering menghabiskan waktu di sekolah karena aku menantang diri untuk sekolah jauh tanpa bermodal handphone android yang bisa diandalkan untuk pesan ojek online. Angkot jadi teman setiap hari, melamun jadi kebiasaan setiap waktu sekalian napas sejenak. Mulai dari situ, aku semakin intens mengalami fase belajar hal baru yaitu 'memperhatikan'. Saat angkot ugal-ugalan mengejar setoran, mungkin hanya aku penumpang yang sadar bahwa ada nenek di seberang jalan yang mengkode angkot yang aku tumpangi untuk tunggu sebentar. Tanpa banyak babibu, aku mengetok dinding atas angkot, "Bang, tunggu. Ada yang mau naik".
Belum lagi dengan transisi dari SMP swasta ke SMA negeri yang ternyata berbeda hampir 180 derajat atmosfernya. Aku yang UN MTK SMP 100 begitu syok pas nerima hasil ulangan ke-1 MTK peminatan tentang Logaritma nilainya 30. Dan banyak lagi hal yang ternyata membuktikan bahwa 'siapa bilang adaptasi itu gampang. Klasik aja yang bisa ngomong begitu dengan enteng' seperti aku yang gagal masuk aksel karena IQ gak setinggi itu atau penat setiap hari harus terbiasa dengar suara bising kereta lewat untuk bisa sampe ke sekolah tepat waktu. Belum lagi, Bekasi itu macet -- semua orang tau itu.
Sejak sekolah jauh dan rasanya gak ada lagi waktu buat nekunin hobi, di saat-saat seperti itu aku kembali kepada hobi kecilku: NULIS. Alasannya sederhana. Memutuskan mengambil SMA yang jauh dari rumah dan juga jauh melejit secara kualitas adalah pilihanku. Sekalipun guru bahkan orangtuaku udah menasihatkan untuk ambil yang jaraknya masih bisa ditolerir aja. So, saat itu aku cuma berpikir bahwa ngeluh bukan solusi. Bisa dikatakan, nulis jadi 'pelarian' aku saat saat gak banyak kata-kata secara lisan yang bisa aku ceritakan. Setiap orang juga punya repotnya sendiri kan?
Aku mulai terbiasa menuangkan kesalku terhadap guru, pelajaran, dan kesulitan lainnya dengan nulis. Bervariasi tulisannya, mulai dari yang paling marah hingga paling melow. Hingga cepat lambat, lewat nulis aku mulai bisa berdamai sama diri aku sendiri: menyadari bahwa semua orang akan ketemu sama fase sulitnya. Dan, saat itu mungkin emang waktunya aku. Kaka jadi orang yang pertama kali dan paling sering cekoki aku dengan kata-kata yang paling menenangkan. "Gak usah jadi yang paling baik, Ren. Cukup bertahan dari proses seleksi alam, maka kamu akan menang," sampe detik ini kata-kata itu selalu aku ingat bahkan saat stuck ngerjain ujian pas udah kuliah.
Singkat cerita, begitu terus prosesnya. Sampai aku kembali menantang diri mau kuliah jauh. Menggapai impian aku untuk bisa belajar Geografi lebih serius di Fakultas Geografi satu-satunya di Indonesia. Merantau dan harus bersentuhan dengan banyak karakter dan emosi orang jadi hal yang gak mudah -- jauh lebih sulit dibanding harus ngebut laprak dalam satu malam. Pelan-pelan belajar nerima sampai kebiasaan nulis sejak kecil mulai jadi secercah harapan lagi untuk bisa survive di kota rantauan. Realita dan Ekspetasi jadi hasil kompilasi seluruh cerita nano-nano selama merantau. Gak hanya tentang aku, tapi tentang kamu, dan bahkan kita yang sama-sama punya cerita. Dan, untuk yang satu ini, aku sambung di lain cerita, ya.
Belum lagi dengan transisi dari SMP swasta ke SMA negeri yang ternyata berbeda hampir 180 derajat atmosfernya. Aku yang UN MTK SMP 100 begitu syok pas nerima hasil ulangan ke-1 MTK peminatan tentang Logaritma nilainya 30. Dan banyak lagi hal yang ternyata membuktikan bahwa 'siapa bilang adaptasi itu gampang. Klasik aja yang bisa ngomong begitu dengan enteng' seperti aku yang gagal masuk aksel karena IQ gak setinggi itu atau penat setiap hari harus terbiasa dengar suara bising kereta lewat untuk bisa sampe ke sekolah tepat waktu. Belum lagi, Bekasi itu macet -- semua orang tau itu.
Sejak sekolah jauh dan rasanya gak ada lagi waktu buat nekunin hobi, di saat-saat seperti itu aku kembali kepada hobi kecilku: NULIS. Alasannya sederhana. Memutuskan mengambil SMA yang jauh dari rumah dan juga jauh melejit secara kualitas adalah pilihanku. Sekalipun guru bahkan orangtuaku udah menasihatkan untuk ambil yang jaraknya masih bisa ditolerir aja. So, saat itu aku cuma berpikir bahwa ngeluh bukan solusi. Bisa dikatakan, nulis jadi 'pelarian' aku saat saat gak banyak kata-kata secara lisan yang bisa aku ceritakan. Setiap orang juga punya repotnya sendiri kan?
Aku mulai terbiasa menuangkan kesalku terhadap guru, pelajaran, dan kesulitan lainnya dengan nulis. Bervariasi tulisannya, mulai dari yang paling marah hingga paling melow. Hingga cepat lambat, lewat nulis aku mulai bisa berdamai sama diri aku sendiri: menyadari bahwa semua orang akan ketemu sama fase sulitnya. Dan, saat itu mungkin emang waktunya aku. Kaka jadi orang yang pertama kali dan paling sering cekoki aku dengan kata-kata yang paling menenangkan. "Gak usah jadi yang paling baik, Ren. Cukup bertahan dari proses seleksi alam, maka kamu akan menang," sampe detik ini kata-kata itu selalu aku ingat bahkan saat stuck ngerjain ujian pas udah kuliah.
Singkat cerita, begitu terus prosesnya. Sampai aku kembali menantang diri mau kuliah jauh. Menggapai impian aku untuk bisa belajar Geografi lebih serius di Fakultas Geografi satu-satunya di Indonesia. Merantau dan harus bersentuhan dengan banyak karakter dan emosi orang jadi hal yang gak mudah -- jauh lebih sulit dibanding harus ngebut laprak dalam satu malam. Pelan-pelan belajar nerima sampai kebiasaan nulis sejak kecil mulai jadi secercah harapan lagi untuk bisa survive di kota rantauan. Realita dan Ekspetasi jadi hasil kompilasi seluruh cerita nano-nano selama merantau. Gak hanya tentang aku, tapi tentang kamu, dan bahkan kita yang sama-sama punya cerita. Dan, untuk yang satu ini, aku sambung di lain cerita, ya.
Coming Soon: Proses Dibalik Nulis Realita dan Ekspetasi
Last but no least, aku yakin setiap orang selalu punya cerita berharga yang patut diabadikan. Ada nilai yang gak selalu bisa dipahami oleh banyak orang. Perkaranya hanya satu, seberapa jauh kita berani reload memory untuk tapaki lagi satu per satu dari semua itu?
Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk jadi bekal diri: belajar dari yang lalu, sadari yang bisa jadi amunisi di lain hari.
Komentar
Posting Komentar