Langsung ke konten utama

Diary Cerita PKM-PIMNAS: Menutup 2020 dengan Proses

Jika dibandingkan dengan postingan sebelum-sebelumnya, postingan yang sudah lama tidak ter-update ini lebih tepat dinamakan "diary". Diary tentang satu setengah tahun yang melelahkan. Lelah, but it's worthed! 

Kalo ngomong soal PKM, bayangan yang kebanyakan muncul di pikiran semua mahasiswa pasti tentang kompetisi yang melelahkan. Karena dibandingkan dengan semua lomba lainnya di tingkat universitas, dari durasinya PKM jelas hadir untuk orang-orang yang sudah siap tahan banting. 


Ceritaku dan teman-teman hingga mampu menutup rangkaian PKM 2020 bermula dari Agustus 2019. Saat itu, aku dan 2 temanku baru saja menyelesaikan sebuah kompetisi
Karya Tulis Ilmiah (KTI) di Semarang. Gagasan yang waktu itu kita lombakan di Semarang mengangkat penelitian kita di daerah Dusun Mancingan, Kabupaten Bantul (tepatnya di pesisir Pantai Parangtritis-Parangkusumo sebagai salah satu ikon wisata yang sangat terkenal di Yogya). Saat itu, posisinya, aku lebih sering cari data yang kualitatif: door to door wawancara ke masyarakat. 

Dari pengalaman door to door itu mulai berpikir "Kok hidup ku gini-gini doang". Rasanya malu aja kalo tempo kita hanya sekadar cari data - wawancara masyarakat - lombakan - menang - dan hilang. Jadi istilahnya, gaada satupun yang bisa kita kembalikan lagi ke masyarakat tadi. Sementara di satu sisi, topik "pembangunan" jadi kata yang udah nempel banget di telinga. Hampir semua mata kuliah di fakultas apalagi di prodi selalu menyebut kata-kata itu dalam semua PPT dosen dan bahan bacaan lainnya. Terdengar klasik, tapi aku pribadi merasa punya tanggung jawab moral untuk bisa berdampak se-sederhana mungkin buat masyarakat di sekitar aku. 

Berawal dari pikiran itu, akhirnya yang terpikir oleh aku dan ketua tim ku saat itu adalah gimana caranya kita bisa mencari pihak yang bisa kita titipkan ide penelitian di Mancingan itu. Siapapun, baik dosen ataupun pihak lain yang dirasa lebih capable dan mumpuni untuk bisa mengeksekusi ide itu lebih lanjut dengan atau tanpa kita. Singkat cerita, kita menemui dosen pembimbing saat lomba di Semarang kemarin untuk cerita tentang "niat baik" ini. Karena saat itu posisinya sedang tidak ada project dosen yang berlokasi di daerah yang sama, akhirnya kita disarankan untuk coba salurin ide itu melalui PKM. Sederhana alasannya: dengan kamu ikut PKM, siapa tau bisa terus lanjut, kamu akan punya kesempatan untuk suaramu dan gagasanmu lebih didengar. 

Berangkat dari hasil konsultasi sana-sini, akhirnya aku dan teman-teman memutuskan untuk coba mengajukan proposal PKM melalui jalur PKM bidang Pengabdian Masyarakat (PKM-M). Proses yang tidak sebentar kita lalui. Revisi sana-sini hingga bisa mencapai nilai yang cukup ideal untuk bisa layak dikatakan sebagai proposal yang siap tanding. Inget banget waktu pertama kali apply dan keluar hasil review, kita masih butuh menaikkan poin 100 untuk bisa memenuhi nilai ideal proposal yang biasanya lolos didanai. Gak sebentar malam yang dilalui dari satu kafe ke kafe lain untuk diskusi alot, bedah proposal-proposal referensi tahun lalu, dan mulai susun rancangan program yang paling realistisnya harus seperti apa. Sampai di batas akhir pengajuan proposal, akhirnya berhasil juga untuk sampai di batas target nilai yang ditentukan oleh universitas. Desember 2019, proposal PKM itu pun terunggah. 

Pandemi Cukup Merubah Segalanya 

2020 jadi tahun yang gak mudah buat kita semua. Segala-galanya berubah. Prioritas program-program di banyak sektor semua jadi teralih untuk penanganan COVID-19. Gak terkecuali juga PKM. Sempat ada gap yang cukup lama sekitar 6 bulan gaada kabar berita tentang kelanjutan PKM. Aku yang waktu itu memang tidak mengambil banyak tanggungan mulai berasa insecure, semua hal yang sudah aku rencanakan nyatanya seperti berbalik arah. Benar-benar di luar prediksi, lama menggabut karena gak banyak kegiatan yang harus diurusi selain kuliah dan saat itu mengerjakan majalah di salah satu organisasi yang lagi aku emban. 

Agustus 2020 tiba-tiba keluarlah pengumuman pendanaan PKM dan saat itu ternyata proposal kita lolos didanai. Seneng, tentu. Bingung, lebih kerasa dibandingkan senengnya. Banyak ketakutan yang saat itu dirasakan. Pertama, program tim ku di proposal itu sangat banyak. Karena kita memang menyusun program yang komprehensif dari hulu sampe ke hilir (karena memang hasil curhatan masyarakat begitu). Dengan program yang segitu banyak bingung banget gimana cara menyesuaikannya. Dari yang kita targetkan butuh 6 bulan untuk bisa program ini dikenalkan ke masyarakat berubah menjadi hanya 1 bulan. Kedua, semua program yang didesain awalnya luring (terjun langsung) harus diubah menjadi daring untuk mencengah penyebaran pandemi lah intinya. Ini juga sangat gak mudah. Yang terpikir saat itu, "Bisa gak ya kita komunikasi se-intens itu dengan masyarakat tanpa bisa kontak fisik ke sana?". 

Perdebatan dalam Tim: Mau Program Jalan atau PIMNAS 

Statement ini sebenarnya cukup gak masuk akal buat kalian yang gak tau saat itu konteksnya seperti apa. Logikanya, buat bisa lolos PIMNAS, ya tentu programnya harus jalan. Tapi saat itu kondisinya dari pihak panitia pusat memberikan keleluasaan kepada tim untuk boleh memangkas program bahkan diperbolehkan mengganti mitra yang lebih mampu diajak berkoordinasi jarak jauh.  Jadi, sebenarnya saat itu aku dan tim boleh-boleh saja untuk mengurangi program supaya semuanya bisa terealisasi sampai batas waktu pelaksanaan program PKM. Namun, disinilah waktu nya saat itu untuk kita kembali lagi ke "apa sih motivasi di awalnya?". Kalau saat itu, kita memutuskan untuk memangkas program yang sudah satu paket istilahnya, maka risikonya adalah masyarakat (mitra) kita bisa gak mendapatkan benefit apa-apa dari program karena program yang gak tuntas bisa membuat potensi program jadi pincang sebelah. Beruntung aku ketemu dengan teman-teman yang mau mendukung niat baik kita bareng-bareng sampe akhirnya kita memilih untuk memprioritaskan program tetap jalan semuanya meskipun program yang diujung-ujung hanya sebatas memperkenalkan aja. 

Prosesnya Tidak Sebentar, Jalannya Tidak Mudah 

Sampai di part ini, sejujurnya aku udah mulai bingung gimana menuangkan ups and downs selama PKM dalam kata-kata. Selain tantangan eksekusi program hanya dalam waktu 1 bulan seperti yang udah dijelasin di atas, yang gak kalah menantang adalah timeline yang cukup padat mulai dari penyelesaian luaran seperti laporan dan video luaran program. Juga ada presentasi kemajuan yang disebut Penilaian Kemajuan Pelaksanaan PKM (PKP2). Saat itu semuanya berjalan dalam waktu 2 minggu. Cocok kalo disebut 2 minggu yang melelahkan di akhir September - Awal Oktober. Bahkan H-1 presentasi PPT aja belum siap. Dan ini adalah pertama kalinya kompetisi yang mungkin terbilang paling tidak siap: H-1 presentasi tapi PPT masih revisi dan belum latihan sama sekali. Alhasil, H-1 presentasi itu bener-bener dimatangkan semaksimal mungkin untuk finalisasi PPT, latihan presentasi, dan siap-siap prediksi pertanyaan apa aja yang bakal muncul dari pihak reviewer

Drama D-Day PKP2: Ganti Presenter dan Drama "Indikator" 

Hari PKP2 jadi salah satu rangkaian PKM yang juga gak bisa dilupain. Awalnya presenter ada 3, aku dan 2 temen cowok ku. Tapi tiba-tiba aku merasa kenapa dari selama persiapan sebelum presentasi banyak sekali tanggapan soal tone suara yang beda. Dan pembahasan ini baru kita bahas benar-benar 30 menit sebelum giliran kita presentasi. "Oh iya ya, Irene cewe pasti suaranya jadi turun naik kalo diapit sama Irfan dan Dafa sebelum dan sesudah Irene ngomong," memang bukan teman-temanku kalo hari H gaada sama sekali drama yang mendadak. Akhirnya, 15 menit sebelum presentasi kita merubah skenario bahwa yang presentasi cuma 2 aja: Irfan dan Dafa. Tapi memang dasarnya teman-temanku adalah orang yang sangat luar biasa apalagi dari segi ketenangan. Mereka tetep bisa tampil tenang dan lancar dengan skema perubahan yang mendadak kaya tahu bulat itu

Yang gak kalah membuat syok selama PKP2 adalah saat sesi tanya jawab. Jangankan jawab dengan smooth, saat itu kondisi tanya jawab berlangsung tegang banget. Pertanyaan dari reviewer cuma 1: indikator nya apa. Duarrrr, gak tau kenapa kita semua mendadak jadi bingung banget pas ditanya gitu karena program kita banyak dan gak predict aja bakal ditanya gitu (padahal sebenarnya secara gak langsung jawabannya udah kita presentasiin dan ada juga di slide secara implisit). Dan reviewer nya cukup "serem" gais, jadi gak bisa mikir. Aku gak mau menggambarkan lebih jelas suasana di dalam room saat itu gimana. Ya intinya periode PKP2 kami cukup di-roasting; jadi roti bakar paling alot dan seketika kita jadi sensitif banget sama kata-kata "indikator" wkwk 

Melihat suasana PKP2 yang seperti itu dan mengingat poin PKP2 cukup tinggi dalam penentuan tim yang bisa maju ke PIMNAS, sebenarnya hati kecil lebih feeling bahwa kita akan berhenti sampe di tahap pendanaan aja. Ngerasa gak maksimal dan gak tampil performa saat PKP2. Jauh banget sama lomba-lomba yang pernah kita ikutin sebelumnya. 



Siapa Sangka PIMNAS Jadi Jodoh yang Telah Ditakdirkan 

Akhir Oktober 2020 malem-malem menjelang orang mau bobo menutup selimut, tiba-tiba ketua tim (Irfan) telpon grup. Bikin panik. Gak predict dia bakal umumin pengumuman PIMNAS dan saat itu pun aku refleks buka website Pusat Prestasi Nasional dan gaada pengumuman apa-apa. Sempat panik, ngiranya jangan-jangan ada luaran yang harus direvisi lagi. Oh my, tidak membayangkan kantong mata akan jadi setebel apa lagi setelah 2 minggu PKM aku lebih sering tidur di bangku ruang tamu dibanding di kamar. Dengan nada pesan yang sangat tidak jelas, Irfan mengabarkan berita bahagia itu sambil nangis. Dan kita yang denger nanggepinnya malah ketawa wkwk karena putus-putus sampe di telinga. Baru kendenger jelas saat di kata, "Gais, lolos gais." 3 kata itu yang membawa kita pada bulan November yang sangat melelahkan. 

November yang Melelahkan 

Sebagian orang percaya dalam sedikit lagi tahap menuju titik akhir hanya tinggal butuh sedikit lagi langkah untuk sampai. Teorinya begitu, tapi kenyataannya engga. Yang disebut "sedikit" itu hanya diukur dari kuantitas nya saja. Tapi gak dengan proses yang sebenarnya. November yang melelahkan akan jadi istilah bagaimana aku menyambut bulan kelahiran aku dengan sangat luar biasa Memutuskan untuk kembali ke Yogya demi mempermudah koordinasi tim menjadi the real perjalanan yang bak roller coaster itu dimulai. Kalo soal persiapan teknis mungkin gak perlu ditanya lagi. Tentunya banyak banget yang harus disiapkan karena tingkat tantangannya semakin tinggi lagi: kita butuh jadi yang paling baik diantara yang sudah paling baik. 101 perguruan tinggi dengan lebih dari 600 tim akan ketemu di tanggal 24-29 November 2020 untuk menunjukkan keganasan mereka masing-masing. 

Tantangan justru hadir pada dinamika tim dan printilan-printilan lain yang membuat persiapan PIMNAS benar-benar memakan seluruh emosi, energi, dan waktu. Bersamaan dengan pemadatan aktivitas perkuliahan sehingga dalam 1 minggu bisa ada 5-6 laporan praktikum itu sangat menguras energi. Aku bahkan gak malu-malu untuk mengaku dosa bahwa kuliah sudah aku tinggalkan 2-3 minggu sepanjang persiapan PIMNAS. Ditinggalkan bukan dalam arti sungguhan gaada di room online, tetapi lebih ke arah ditinggalkan secara pikiran. Sangat cocok untuk digambarkan dengan kalimat, "Raga dan pikiran ada di tempat yang berbeda. Ngawangnya kemana-mana." Sifat perfeksionis yang selama ini mungkin masih nempel sebagai mahasiswa perlahan berubah menjadi "yang penting sejadinya" wkwk. 

Peran orang terdekat menjadi amunisi yang gak kalah penting selama menghadapi drama menuju PIMNAS. Roasting-an menjelang hari H yang semakin intens membuat kita gak bisa lagi cerita pada sesama anggota tim. Dosen pendamping langsung bertransformasi jadi teman yang direpotkan untuk denger sambatan mahasiswa yang mungkin sebenernya gaada apa-apanya dibandingkan tugas dosen yang lebih semrawut. Di luar masalah dan drama menuju PIMNAS, ternyata banyak poin penting yang bisa dipetik salah satunya adalah menemukan orang-orang terbaik yang mau siap sedia bahu telinga untuk denger cerita kita. Di saat posisi itu, kita hanya butuh mencari pendengar. Titik. Jadi, terima kasih ya untuk siapapun yang sudah membersamai cerita-cerita melow nya Irene menjelang PIMNAS. Semoga niat baik kalian dikembalikan sama baiknya dalam bentuk kebaikan apapun :) 

PIMNAS 33: Hadiah Ulang Tahun Terbaik

21 November, hari lahirku yang biasanya anak seusiaku dirayain dengan selebrasi tiup lilin dan pesta, jadi hari yang gaada beda dengan hari-hari biasanya. Saat notifikasi WA bermunculan penuh selamat ucapan hari lahir mendoakan Irene dengan versi terbaik mereka aku rayakan dengan simulasi pelaksanaan presentasi PIMNAS. Kalau ditanya rasanya seperti apa, sedih iya, terharu iya, bangga juga iya. Ini adalah ulang tahunku yang sangat luar biasa dan gak akan terlupakan. Gaada diary bertuliskan apa harapanku saat itu. Tulisan tanganku saat itu lebih banyak menulis apa saja komentar dosen reviewer dan pertanyaan prediksi apa yang akan muncul. 



Namun, lagi-lagi, aku selalu merasa beruntung hidup dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaiku dengan cara mereka masing-masing. Bangun dari tidur siang sebentar, tiba-tiba aku dikejutkan dengan anak-anak redaksiku yang sudah ada di depan kos untuk memberi kado. Mereka tau koor (cici) nya suka baca, mereka juga menghadiahkan aku buku berjudul "Slow" dan juga boneka lucu dan mungil yang dari dulu aku selalu kode-kodein ke mereka. Pun begitu dengan teman kosku yang merayakan aku dengan sepotong roti bakar dan tiup lilin virtual. Gak terkecuali juga Irfan dan Nurul, tim ku yang tiba-tiba pake drama "GAIS, KUMPUL. ADA REVISI DADAKAN" tau-taunya mau selebrasi ulang tahun pake donat kekinian di Jogja biar ulang tahunku gak sedih-sedih banget. Semua yang sederhana itu benar-benar terangkai jadi memori yang gak akan terlupakan. So, thankful for having you, guys!


D-Day PIMNAS: 30 Menit yang Selalu Berdebar-Debar 

Hal yang cukup membuat PIMNAS gak bisa sama sekali disambi adalah karena pengundian presentator setelahnya dilakukan setelah tim sebelumnya selesai presentasi. Setiap durasi 30 menit jadi waktu yang selalu kritis. Berasa mau ke kamar mandi setiap 30 menit sekali. Sakit perut, keringet dingin, dan pokoknya penyakit jadi bermunculan gitu. Melihat nama ketua tim berputar-putar di layar rasanya deg-degan gak karuan. Istirahat makan siang pun jadi gak bisa dinikmati bener-bener ketika kita belum maju. Singkat cerita, waktu itu tim ku kebagian presentasi setelah Ashar. Kalau ditanya apakah semua berjalan smooth, jawabannya engga juga. Tapi jiwa-jiwa ambis dan totalitas bener-bener bangkit banget saat itu. Irfan tampil presentasi dengan tenang dan lancar abis. Pertanyaan juga dengan mampu kita jawab sambil senyum pol dalam hati (karena semuanya sudah sesuai dengan apa yang kita prediksi). Tapi tetep aja ada drama dimana salah satu anggota, Nurul, lost connection dan doi panik maksimal karena semuanya terjadi saat sesi tanya jawab lagi berlangsung. Saling back up jadi pamungkas terakhir untuk memaksimalkan poin 40% dari kontribusi anggota tim saat tanya jawab.  

Siaran ulang presentasi aku dan teman-teman bisa ditonton di sini ya (mulai dari menit 8.36.09)



Pengumuman PIMNAS, Drama Ayam, dan Hujan Deras 

Sekalipun virtual, kita gak kehilangan akal untuk membuat pengumuman PIMNAS biar gak sepi-sepi banget kalo cuma nonton dari kamar kos. Akhirnya kita pun sepakat untuk nonton dari dalam mobil rame-rame setelah sebelumnya kita pulang dari pantai buat relaksasi sebelum deg-degan nunggu pengumuman. Yang buat pengumuman PIMNAS makin terkenang adalah karena saat itu tiba-tiba hujan deras banget. Yang ciwi-ciwi pun nunggu dijemput satu-satu dan akhirnya kita menuju pelataran GSP untuk bisa ikut merasakan sensasinya sekalipun gak nonton langsung. Udah sampe di pelataran, baru berasa kalau kita laper dan belum makan lagi dari siang. Tinggal sisa beberapa waktu lagi untuk pengumuman, kita coba untuk cari makanan apa yang bisa cepat dibungkus supaya bisa dimakan dalem mobil. Muter-muter ngeliat rumah makan gak ada yang sepi, akhirnya kita mutusin untuk beli ayam goreng di daerah Klebengan. Predict nya sih bakal cepet, tapi ternyata lama banget (kayanya ayam nya lagi dipotong dulu). Sempet mikir lucu aja kalo semisal kita nonton pengumuman jadinya ga bareng-bareng karena Irfan harus nunggu ayam sampe mateng dan bisa dimakan. Tapi ujungnya keburu kok. Akhirnya kita balik lagi ke GSP dan nonton dari mobil. 





Singkat cerita, deg-degan nunggu pengumuman itu pasti. Pengumuman dibacain mulai dari juara favorit, juara poster, dan terakhir juara presentasi. Sejujurnya nyali sudah cukup ciut saat kita gak berhasil bawa apa-apa dari kategori juara poster. Sedikit banyak aku pribadi lebih ke arah mempersiapkan hati semisal memang belum ditakdirkan untuk bawa lempengan PIMNAS. Suasana mobil yang awalnya rame, lama-lama jadi sepi. Masing-masing kita mungkin untuk sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai terakhir tiba di sesi pengumuman juara presentasi, nyatanya memang semesta baik. Jauh lebih baik dari kita memprediksi apa yang layak untuk kita. H-1 aku pulang kembali ke Bekasi, kita diizinkan untuk membawa kabar bahagia pulang dengan berita perolehan perak dari kategori presentasi Kelas PKM-M 2. 

Bersyukur, berterima kasih tentunya! 


***

Kompilasi Irene Menutup Rangkaian PKM 

Satu hal yang aku pelajari dari satu setengah tahun menjalani rangkaian kompetisi PKM adalah tentang keikhlasan dan ketuntasan dalam menjalani apapun. Kita sering tumbuh jadi manusia yang punya tekad besar untuk mengawali sesuatu tapi lupa pada komitmen yang kita bangun di awal. Lewat PKM, aku sejatinya bertemu dengan kompetisi yang jauh lebih sulit dari apapun: kompetisi memenangi ke-egoisan diri yang sebenarnya mudah banget untuk kita bela ketika kita sudah terlampau lelah. Lewat PKM, aku bertemu dengan sifat asli orang-orang bagaimana mereka mau berperan dengan caranya masing-masing. Jauh melebihi medali dan prestasi, PKM menjadi satu dari banyak langkah awal yang bisa menjadi harapan untuk lebih jauh menebar kebermanfaatan. 

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang sudah mau membersamai semua perjalanan aku dan teman-teman melewati ini melalui caranya masing-masing: melalui doa, semangat, dukungan, tampungan keluhan, dan lain sebagainya. Semoga niat baik semua pihak dikembalikan sama baiknya, ya! 

*sekalipun namanya full version, tapi cukup banyak cerita yang ter-cut karena tidak patut untuk jadi konsumsi publik, ya! 

Sampai jumpa di cerita-cerita aku selanjutnya. 
Welcome to 2021 dengan lembaran yang semoga tidak kalah baik dan bermanfaatnya. 




Ditulis menuju penutupan agenda 2020, 
Irene 


Bonus Dokumentasi
Biar Bisa Dikenang Besok-Besok 















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Aku Memilih Fakultas Geografi ?

“Setiap orang punya ceritanya masing-masing. Mungkin tak berharga bagi yang lain, tapi baginya pasti memiliki kesan tersendiri. Tak ada yang dapat menilai dengan kuantitas seberapa bermakna cerita itu. Sebab, sesungguhnya cerita itu tentunya tak terlepas dari metamorfosis perjalanan hidupnya” Dan inilah ceritaku. Jawaban dari judul postinganku kali ini bermula dari sebuah event tahunan sekolahku, SMA Negeri 1 Bekasi, yang biasa disebut BOB ( Best of The Best ). BOB ini merupakan acara yang diselenggarakan oleh sekolahku untuk menyeleksi siswa-siswi yang berminat mengikuti olimpiade. Beberapa anak di sekolahku sangat antusias mendengarnya. Mereka dengan cepat mendaftar dan sesudahnya langsung belajar. Tak satu atau dua anak kujumpai mereka membaca buku pegangan olimpiade untuk menghadapi BOB itu. Bahkan, mereka dengan antusias mengikuti pembinaan tutor sebaya dengan kakak kelas yang pernah mengikuti bidang yang sama di tahun sebelumnya. Tapi tidak dengan aku. Aku tidak pern

Coba Jawab Tebak-Tebakan Buku Kekinian, Marah Atau Bercanda Yang Bisa Buat Masalah Lari?

Sumber Gambar : pinterest.com Rasa-rasanya semua orang yang ngaku anak muda di 2 tahun terakhir ini tentu akrab dengan buku kekinian: NKCTHI. Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini. Buku berjenis flash fiction ini dilihat-lihat sudah mampu membuat kemajuan mental bagi pembacanya yang mungkin semula penuh penolakan terhadap hidupnya. Layak diakui memang, saya pun turut menjadi penggemar dan pengingat setiap halaman di buku ini dengan detail. Suka aja sama cara penulisnya, Marchella FP menuangkan kata-kata sederhana tapi cukup ‘menampar’ kita yang punya emosi sering naik turun. Selisih hampir 1 tahun NKCTHI diluncurkan, buku lanjutannya yang membawa ‘sisi gelap hidup’ berjudul Kamu Terlalu Banyak Bercanda (KTBB), turut menjadi daftar bacaan yang patut dibaca. Seperti halnya NKCTHI, pembaca tentu juga punya bagian favoritnya masing-masing di KTBB. Bagi saya, salah satu bagian yang sangat tergiang adalah ‘ Katanya hidup gak sebercanda itu. Coba tanya mereka, apa marah bisa muat masalah har

Saat Kami Belum Bisa Melihat Derasnya Aliran Sungai Kampar

Jika berbicara tentang lika-liku hidup di SMA Negeri 1 Bekasi, bagi saya, Novirene Tania dan teman perjuangan saya, Erika Aurellia, Geografi menjadi salah satu hal yang membuat kehidupan masa putih abu-abu kami menjadi berfaedah. Kami tak tahu apakah ini bisa disebut sebagai pengalaman ataupun tidak. Singkat cerita, inilah seberapa pentingnya Geografi bagi kami….. Menginjak tahun kedua bergabung di Olimpiade Geografi, membuat saya menyusun rencana yang lebih jelas dibanding tahun pertama keikusertaan saya. Di tahun kedua, saya baru menyadari betapa saya menyukai divisi ini. Jika kalian bertanya bagaimana respon teman-teman terhadap minat saya, mungkin kalian akan bingung dan bertanya-tanya. Tradisi Olimpiade Geografi khususnya di Kota Bekasi sudah menjadi rahasia umum. Pergunjingan tidak terelakkan. Setelah pemerintah menggelar OSN Geografi pada tahun 2013, tentunya kompetisi tingkat awal menuju ke sana pun harus digelar yaitu Seleksi Olimpiade Sains Tingkat Kota (OSK). Sejak tahu