Langsung ke konten utama

Renungan untuk Kita yang Sering Nimbun Chat, Ada yang Lebih Penting dari 'Maaf'

Siapa pernah mendengar atau membaca bahwa ada 3 kata pamungkas di dunia ini? Salah satu diantaranya adalah MAAF. Maaf lazimnya diucapkan ketika kita berbuat salah. Begitu kurang lebih stigma paling sederhana yang digeneralkan oleh masyarakat kita.

Semoga ini hanya pengamatan aku secara pribadi bahwa dibanding dengan 2 kata pamungkas lainnya (permisi dan terima kasih), maaf jauh lebih susah diucapkan. Sebenarnya, secara gerak gerik tubuh, semua orang sudah terbiasa menunjukkan permohonan maaf nya. Contoh sederhananya saja, ketika tidak sengaja menyenggol orang di keramaian atau memanggil orang yang sedang buru-buru ternyata salah nama. Namun, maaf tidak jarang bukan pilihan kata yang terucap, melain "eh" sambil menyodorkan lima jari ke depan. Jika kita sebagai "korban" bukan kekerasan pada konteks itu, kita pasti paham bahwa tanda itu adalah isyarat dari "sorry aku gak sengaja". 

Sumber Gambar: Unplash.com

Model-model Pelaku Chat Era Modern Pandemi
Memasuki momen pandemi dimana kita harus diam diri di rumah aja, media sosial jadi satu-satunya perantara untuk kita tetap bisa saling komunikasi. Untuk urusan apapun, dari yang cuma sekadar tanya kabar hingga diskusi intens yang menguras tenaga kuota. Nah, menyambungkan dengan pembahasan kali ini, budaya 'lupa maaf' jadi sangat riskan terjadi di momen semua serba online. Balasan lewat chat yang hanya tergambar lewat kata tanpa nada seringkali membawa urusan yang tidak sederhana. Mungkin saja hati yang kita ajak chatting lagi sedang tidak baik, jadinya dia merasa bercandaan kita menjatuhkan. Karena kita tidak merasa, ya jelas kita tidak mengetikkan balasan berupa: "maaf ya kalo aku bercandanya kelewatan."

Untuk kasus di atas, boleh deh kita bernegosiasi lagi kalau hal tersebut bisa terjadi karena miss komunikasi. Masih masuk akal. Namun, bagaimana untuk yang satu ini: membiasakan hanya membaca pesan penting orang lain apalagi kalau pesan itu jelas butuh jawaban? 

Jika kita adalah pelaku, kurang lebih pasti begini respon kita, "Maaf, kebaca doang abis itu kependem". Dan jika kita adalah korban, kurang lebih kita pasti akan memaklumi. Terlepas ikhlas atau tidak, kita akan melontarkan balasan, "Ya gapapa kok, aku ngerti." Mencoba paham bahwa setiap orang punya kesibukan yang berbeda-beda. 

Namun, lagi dan lagi, banyak juga konteks lain yang terjadi dalam hal balas membalas mendam memendam pesan. Ini adalah kondisi lain yang tampaknya juga sering terjadi: lupa bilang maaf karena telah memendam pesan, seolah lupa bahwa kita pernah melakukannya, dan kembali mengirim pesan penting pada orang yang hanya kita baca pesannya bagai chat sebelumnya tidak pernah terjadi. Hmm, untuk yang satu ini memang jelas menjengkelkan sekali. Nah, kondisi seperti inilah yang ingin aku bahas pada postingan kali ini. Terlepas dari aku mungkin pernah melakukannya juga, berarti tulisan ini juga menjadi refleksi bagi aku pribadi. 

Maaf itu Budaya, Bukan Hanya Sekadar Kata
Aku percaya dan aku yakin kalian juga percaya bahwa hal-hal kecil yang terbiasa kita lakukan adalah karena dibiasakan. Baik ataupun kurang baik. Dan nyatanya, hal-hal yang kecil ini lebih susah dilakukan dibandingkan dengan aksi-aksi besar yang kita targetkan. Begitu kurang lebih hasil aku menggali pemikiran dan pandangan, ya. Membiasakan hal-hal kecil nampak jadi sesuatu yang terlihat "sepele" bagi kita. Ya, memang melakukan hal-hal kecil nampaknya dampak yang diperoleh juga kecil. Pemikiran-pemikiran kita yang seperti ini sampai menggugurkan pemahaman kita bahwa: segala sesuatu yang besar dibangun dari dan oleh sesuatu yang kecil

Kembali mengaitkan dengan pembahasan kita di atas, aku harap kita sama-sama setuju bahwa "bilang maaf ketika lupa membalas chat sesegera mungkin" adalah hal kecil. Kira-kira apa buktinya? Hmm, coba tinjau ulang saja semua resolusi masing-masing dari kita setidaknya resolusi mendesak selama pandemi, apakah hal ini termasuk goal yang kita tuju untuk diperbaiki dan ditingkatkan selama komunikasi virtual ini suka tidak suka sangat dibutuhkan? 

Tanpa mengurangi hormat dan apresiasi pada teman-teman yang sudah membiasakan "bilang maaf ketika lupa membalas chat", tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk penyudutan bagi kita yang memang dasarnya sibuk. Namun, ada beberapa hal yang seharusnya bisa sama-sama kita pikirkan sebagai dasar mengapa hal ini harus kita biasakan. 

1. Setiap orang juga punya kesibukannya sendiri, jangan biarkan mereka menunggu 
Rasanya sangat tidak etis bagi kita untuk punya kebiasaan buruk baru yaitu membandingkan siapa yang lebih sibuk diantara aku dan dia. Apalagi kalau jelas-jelas kita seumuran, masih dengan status yang sama. Beda kasus jika kita berurusan dengan mereka yang nyatanya memang punya jam terbang yang lebih tinggi termasuk dengan jam kerja yang beda dengan kita seperti mereka yang lebih tua dan yang sudah lebih berpengalaman. Contohnya tentu bisa dibuat sendiri, tidak perlu dijabarkan lagi. 

2. Hati-hati bisa banyak gap informasi di sana sini 
Meninggalkan pesan penting seseorang (yang notabene membutuhkan jawaban) dalam keadaan dibaca saja bisa menimbulkan dampak ganda: yang dibaca sudah paham atau yang dibaca mengacuhkan pesan yang ada. Jika sebelum pandemi hal-hal seperti ini masih nampak biasa saja, tapi lain halnya dengan ketika pandemi dimana komunikasi virtual jadi satu-satunya harapan. Apa susahnya sih meluangkan waktu tidak sampai 5 detik untuk bilang "Oke, laksanakan" untuk pesan yang hanya butuh konfirmasi kepastian dan waktu beberapa menit untuk pesan yang butuh keterangan lebih lanjut? Dan tapi jangan lupa, jangan sampai hanya kita balas "Oke", lantas kita lupa apakah pesan itu harus diteruskan lagi pada orang lain yang berkepentingan atau tidak. Jangan sampai kita jadi orang yang "oke-oke doang", tapi gak melaksanakan. Permudah urusan sendiri dan juga orang lain dengan tidak menunda hal-hal kecil seperti menindaklanjuti pesan penting. 

3. Kalau tidak sekarang, kapan lagi mau dibiasakan? 
Pertanyaan retorik inilah yang menjadi dasar paling mendasar mengapa aku mengangkat topik ini pada postingan hari ini. Balik lagi ke konteks momen pandemi. Momen pandemi harus kita manfaatkan sebagai peluang untuk sama-sama berlatih membiasakan hal kecil ini. Posisikan kita berada di posisi orang yang chat pentingnya hanya kita baca. Hiperbolakan pikiran kita bahwa si pengirim pesan pasti punya maksud mengapa harus kita yang dia atau mereka hubungi. "Jangan-jangan kalau kita tidak balas dia jadi sangat khawatir bakal ada salah tangkap informasi atau bahkan jawaban kita sangat dia tunggu untuk mengabari dan mengonfirmasi pada orang lainnya". Syukur-syukur semakin kita biasakan, kita semakin mudah memanjatkan rasa syukur dengan cara yang paling sederhana: tidak membebankan orang lain hanya dengan tenaga dari jari-jari ringan kita menyentuh deretan huruf di ponsel. 

Kembali ke Judul, Jadi Jawabannya Apa? 
Sepertinya cukup ya 3 poin saja untuk pembahasan di atas. Setidaknya 3 poin itulah yang aku selalu berusaha ingat-ingat saat lagi berhadapan dengan banyak chat masuk di media chatting. Sekarang kita kembali kepada judul: apa yang lebih penting dibandingkan maaf dalam konteks membalas chat? Sederhana, 5 kata saja: berusaha kurangi kebiasaan itu lagi.  Apresiasi untuk kita yang telah terbiasa bilang maaf ketika pesan orang hanya kita baca, tetapi yuk coba sama-sama kita berlatih untuk berusaha sebisa mungkin mengurangi kebiasaan tersebut. 
Semoga pembiasaan sederhana ini bisa membawa manfaat untuk kelancaran komunikasi kita di masa pandemi seperti ini. Terima kasih untuk teman-teman yang mau saling mengusahakan. Yuk, kita bisa berkembang semakin baik dari hal-hal yang kecil :) 

Special thanks to teman lama yang ikut request topik ini. 
Sampai jumpa di Rabu Rabu selanjutnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Aku Memilih Fakultas Geografi ?

“Setiap orang punya ceritanya masing-masing. Mungkin tak berharga bagi yang lain, tapi baginya pasti memiliki kesan tersendiri. Tak ada yang dapat menilai dengan kuantitas seberapa bermakna cerita itu. Sebab, sesungguhnya cerita itu tentunya tak terlepas dari metamorfosis perjalanan hidupnya” Dan inilah ceritaku. Jawaban dari judul postinganku kali ini bermula dari sebuah event tahunan sekolahku, SMA Negeri 1 Bekasi, yang biasa disebut BOB ( Best of The Best ). BOB ini merupakan acara yang diselenggarakan oleh sekolahku untuk menyeleksi siswa-siswi yang berminat mengikuti olimpiade. Beberapa anak di sekolahku sangat antusias mendengarnya. Mereka dengan cepat mendaftar dan sesudahnya langsung belajar. Tak satu atau dua anak kujumpai mereka membaca buku pegangan olimpiade untuk menghadapi BOB itu. Bahkan, mereka dengan antusias mengikuti pembinaan tutor sebaya dengan kakak kelas yang pernah mengikuti bidang yang sama di tahun sebelumnya. Tapi tidak dengan aku. Aku tidak pern

Coba Jawab Tebak-Tebakan Buku Kekinian, Marah Atau Bercanda Yang Bisa Buat Masalah Lari?

Sumber Gambar : pinterest.com Rasa-rasanya semua orang yang ngaku anak muda di 2 tahun terakhir ini tentu akrab dengan buku kekinian: NKCTHI. Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini. Buku berjenis flash fiction ini dilihat-lihat sudah mampu membuat kemajuan mental bagi pembacanya yang mungkin semula penuh penolakan terhadap hidupnya. Layak diakui memang, saya pun turut menjadi penggemar dan pengingat setiap halaman di buku ini dengan detail. Suka aja sama cara penulisnya, Marchella FP menuangkan kata-kata sederhana tapi cukup ‘menampar’ kita yang punya emosi sering naik turun. Selisih hampir 1 tahun NKCTHI diluncurkan, buku lanjutannya yang membawa ‘sisi gelap hidup’ berjudul Kamu Terlalu Banyak Bercanda (KTBB), turut menjadi daftar bacaan yang patut dibaca. Seperti halnya NKCTHI, pembaca tentu juga punya bagian favoritnya masing-masing di KTBB. Bagi saya, salah satu bagian yang sangat tergiang adalah ‘ Katanya hidup gak sebercanda itu. Coba tanya mereka, apa marah bisa muat masalah har

Saat Kami Belum Bisa Melihat Derasnya Aliran Sungai Kampar

Jika berbicara tentang lika-liku hidup di SMA Negeri 1 Bekasi, bagi saya, Novirene Tania dan teman perjuangan saya, Erika Aurellia, Geografi menjadi salah satu hal yang membuat kehidupan masa putih abu-abu kami menjadi berfaedah. Kami tak tahu apakah ini bisa disebut sebagai pengalaman ataupun tidak. Singkat cerita, inilah seberapa pentingnya Geografi bagi kami….. Menginjak tahun kedua bergabung di Olimpiade Geografi, membuat saya menyusun rencana yang lebih jelas dibanding tahun pertama keikusertaan saya. Di tahun kedua, saya baru menyadari betapa saya menyukai divisi ini. Jika kalian bertanya bagaimana respon teman-teman terhadap minat saya, mungkin kalian akan bingung dan bertanya-tanya. Tradisi Olimpiade Geografi khususnya di Kota Bekasi sudah menjadi rahasia umum. Pergunjingan tidak terelakkan. Setelah pemerintah menggelar OSN Geografi pada tahun 2013, tentunya kompetisi tingkat awal menuju ke sana pun harus digelar yaitu Seleksi Olimpiade Sains Tingkat Kota (OSK). Sejak tahu