Jika berbicara tentang
lika-liku hidup di SMA Negeri 1 Bekasi, bagi saya, Novirene Tania dan teman
perjuangan saya, Erika Aurellia, Geografi menjadi salah satu hal yang membuat
kehidupan masa putih abu-abu kami menjadi berfaedah. Kami tak tahu apakah ini
bisa disebut sebagai pengalaman ataupun tidak. Singkat cerita, inilah seberapa
pentingnya Geografi bagi kami…..
Menginjak tahun kedua
bergabung di Olimpiade Geografi, membuat saya menyusun rencana yang lebih jelas
dibanding tahun pertama keikusertaan saya. Di tahun kedua, saya baru menyadari
betapa saya menyukai divisi ini. Jika kalian bertanya bagaimana respon teman-teman
terhadap minat saya, mungkin kalian akan bingung dan bertanya-tanya. Tradisi
Olimpiade Geografi khususnya di Kota Bekasi sudah menjadi rahasia umum.
Pergunjingan tidak terelakkan. Setelah pemerintah menggelar OSN Geografi pada
tahun 2013, tentunya kompetisi tingkat awal menuju ke sana pun harus digelar
yaitu Seleksi Olimpiade Sains Tingkat Kota (OSK). Sejak tahun 2013 hingga tahun
pertama saya mencoba Geografi yaitu tahun 2016, tak ada satupun kaka kelas saya
yang berhasil melaju ke tingkat yang lebih tinggi. Sekolah menjelaskan sudah
mengupayakan berbagai cara, tetapi mungkin alam semesta belum menakdirkan
sekolah saya untuk bisa mengukir sejarah dalam OSN Geografi. Hal inilah yang
membuat teman-teman mencoba menasihati saya.
“Ren, kamu sebaiknya
coba divisi yang lain. Sayang kalo potensi kamu ga diikuti dengan kesempatan
dan peluang yang kamu miliki,” begitulah rata-rata nasihat dari mereka untuk
saya. Saya menghargai pendapat itu. Hati saya pun tidak dapat memungkirinya.
Hingga sebelum saya memutuskan untuk bergabung kembali di tahun kedua, berbagai
pertimbangan saya coba pikirkan, dari mulai berkonsultasi dengan guru BK,
dengan kaka tingkat, dengan kaka pengajar, hingga dengan beberapa guru yang
berperan langsung dalam minat saya yang satu ini.
Singkat cerita, saya
pun memutuskan untuk kembali mencoba di Geografi. Apa yang membuat saya
memutuskan untuk kembali lanjut? Sederhana alasannya, saya mendapatkan begitu
banyak pengalaman yang berharga. Bertemu dengan kaka-kaka pengajar yang luar biasa
menginspirasi menjadi sebuah sarana refleksi bagi saya bahwa saya belum banyak
melakukan hal-hal yang luar biasa dalam kehidupan sekolah saya. Terlepas dari
itu pula, kehidupan Olimpiade mengajarkan saya bahwa nilai bukan sebuah
jaminan, tetapi pemahaman itulah yang harus selalu diukur sebagai sebuah
kesinambungan yang biasa disebut sebagai “proses”. Nilai post test setiap
pertemuan tidak pernah menjadi sebuah tolak ukur, bahkan seringkali nilai itu
sangat menyedihkan dan sangat dibawah standar.
Selain itu, saya
mencoba untuk berpikir se-positif mungkin. Bukankah selagi nilai kemungkinannya
belum sama dengann 0, hal itu belum bisa disebut sebagai kemustahilan bukan?
Begitu saya mencoba meluruskan pikiran. Saya rasa saya tak layak menyerah
sedini itu sebelum waktu yang membatasi saya untuk mencoba.
Memang benar bahwa
semesta itu selalu mendukung setiap cita-cita yang sedang diupayakan, hingga akhirnya
muncullah nama yang kelak menemani saya menjadi seorang Petarung Geografi
jalanan di tahun kedua. Ia adalah Erika Aurellia. Entah, saya pun tak tau
mengapa itu memutuskan untuk bergabung di dalam divisi ini. “Gua suka, Ren”,
hanya itu jawaban yang muncul darinya.
Sampai pada akhirnya,
beberapa hari sebelum pelaksanaan OSK 2017, sudah menjadi suatu tradisi di
sekolah saya untuk mengadakan Pelatihan Intensif Pra OSK di luar Kota Bekasi.
Tujuannya dimaksudkan untuk memfokuskan kami untuk belajar totalitas tanpa
memikirkan hal-hal yang mungkin masih mengganggu selama di sekolah, seperti
ekstrakurikuler. Sekolah kami menjadi salah satu sekolah yang beruntung karena
bisa mengirim 10 orang perwakilan tiap divisi untuk bersaing di tingkat kota.
Tetapi tidak bagi Geografi di tahun ini, kuota 10 yang juga diberikan pada
Geografi hanya diikuti oleh 3 orang. Dan orang itu tentunya adalah saya, Erika,
dan salah satu adik yang luar biasa, adik kesayangan kami, Permata Salsabilla.
Tim Olimpiade Geografi Smansasi 2017
|
Dalam pelatihan
intensif itu, saya sebagai ketua divisi dan yang sudah menjalani kehidupan
olimpiade di tahun sebelumnya selalu memberikan dorongan semangat satu sama
lain. Saya mungkin akan dikenang sebagai orang yang bawel oleh mereka, itu sih
tentu sepertinya, hehe. Mengapa ? Karena saya selalu menekankan pada mereka
bahwa tantangan kita sangat besar, sekolah lain yang sudah menjadi senior di
Geografi karena telah meletakkan banyak pendahulu tidak akan semudah itu untuk
dikalahkan.
“Gimana ka kalo
misalkan kita ga berhasil juga di tahun ini?,” pertanyaan polos dari adik kami
seringkali hati kami terasa kelu mendengarnya. Kami pun turut bertanya demikian,
meskipun hanya dalam hati. Lalu, apa yang mampu kami jawab padanya?, “sekalipun
kita gagal paling tidak kita sudah melakukan yang terbaik”, seraya saling
memeluk dan meyakinkan.
Melakukan yang terbaik
mungkin sederhana terdengarnya, tapi perlu untuk direalisasikan tidak hanya
lewat kata-kata, tetapi juga perlu melalui tindakan. Di tahun ini, kami
kedapatan pengajar yang masih mengenyam pendidikan sebagai mahasiswa dan
mahasiswi ITB (kebetulan memang tempat pelatihan kami dekat dengan ITB)
sehingga kelas baru dimulai sore sekitar jam 4 sore dan selesai di jam 9 atau
10 malam jika memang ada pembahasan yang sangat harus diselesaikan hari itu
juga (tetapi diluar jam itu, dari jam 8 pagi kita harus berada di kelas).
Melihat kelas kami yang cenderungnya terbilang kelas malam sehingga tentunya
setelah selesai kelas, rasanya kami ingin selalu bergegas istirahat. Hal itulah
yang membuat kami saling mengingatkan untuk meluangkan waktu di waktu dini hari
untuk mengulang materi pelatihan. Hal itu kami lakukan bergantian, jika Erika
memutuskan untuk begadang membahas soal pengetahuan umum sampai jam 1 pagi,
maka setelahnya ia membangunkan saya yang memang memilih untuk tidur sebentar
dan minta dibangunkan untuk belajar. Begitu siklusnya terus berputar selama
kurang lebih 6 hari di Bandung.
Tak hanya soal waktu
belajar di kamar, waktu bangun dan makan pun harus sebisa mungkin kami atur.
Permata yang memang beragama Muslim tentunya harus menunaikan sholat subuh, di
waktu itu pula saya dan Erika pun juga harus bangun untuk mandi dan
bersiap-siap sarapan. Ruang makan baru bisa dibuka saat jam 7, begitulah kami
bertiga mencoba menetapkan waktu. Jam 7 kami harus sudah sampai di ruang makan
dan segera ke ruang kelas sesegera mungkin setelah sarapan. Kami bubar dari
sarapan, seringkali anak divisi lain baru sarapan itupun dalam kondisi yang
baru bangun tidur atau masih pakai baju santai. Seringkali ada saja tuh
celetukkan, “gila,gila, anak geo rajin banget parah”. Mendengarnya kami hanya
bisa saling berpandangan dan tersenyum membalas. Sebab kami punya tantangan yang
jauh lebih besar.
Begitulah kurang lebih
kami berusaha mendisiplinkan diri sebelum menghadapi OSK. Bukan untuk tujuan
apapun, lagi dan lagi kembali kepada tujuan awal kami. Sekalipun kita gagal paling
tidak kita sudah melakukan yang terbaik.
Hingga tiba lah waktu
pelaksanaan OSK. Kami semua tim olimpiade smansasi berkumpul di suatu ruangan
dan berteriak jargon sebelum perang yang akan kami hadapi, setelahnya tentulah
dilanjut dengan jargon tiap divisi tanda saling menyemangati satu sama lain.
Lagi dan lagi, kami yang jumlahnya sedikit, tetap mencoba menguatkan dan
menyemangati. Yang kami ingat saat itu, kami hanya perlu melakukan yang terbaik
dari yang paling baik yang kami bisa tanpa berpikir bagaimana hasilnya nanti.
Singkat cerita, berlalu
lah sudah OSK itu. Tetapi ada yang aneh tahun ini, yang biasanya 1 hari
setelahnya langsung diumumkan, tetapi tahun ini pengumumannya cukup agak lama. Sekitar
3-4 hari. Dan di momen menunggu seperti inilah, saya mengingat figure seorang
Erika yang mungkin tidak akan bisa saya lupakan. Erika terlihat resah menunggu
pengumuman itu. Yang ada hanyalah ketakutan jika kami yang saat itu sudah
mencoba untuk melakukan yang terbaik tapi harus kembali gagal di tahun
terakhir. Saat jam kosong, ia seringkali bolak-balik ke kelas saya hanya untuk
menanyakan kapan pengumuman. Kami mencoba saling menguatkan di bangku cokelat
mengkilap di depan kelas saya. Percakapan singkat di pergantian jam tetapi bisa
terisi oleh air mata kami satu sama lain.
“Tenang Ren sekalipun
semuanya terlihat mustahil, Tuhan akan memperhitungkan segalanya,” ini
kata-kata seorang Erika yang saya ingat saat kami tau bahwa besok adalah
pengumumannya. Lagi dan lagi, semuanya hanya ada tangis yang begitu
mengharukan. Ini yang tidak bisa disebut hanya sebagai sebuah pertemanan.
Gembar-gembor berita
pengumuman OSK di sekolah kami sudah terdengar. Jam 8 pagi harusnya, tetapi sekitar
jam 8 kurang 15 menit pun, kami belum menerima instruksi siapa saja murid
sekolah kami yang dipanggil ke auditorium (kebetulan saat itu pelaksanaan
pengumuman adalah disana). Disaat seperti itulah saya hanya mampu berpikir,
paling tidak saya sudah melakukan yang terbaik, Saya sudah sebaik mungkin
menyiapkan berita kekalahan itu.
Sampai pada akhirnya….
Sekitar 21 orang dari
Tim Olimpiade Smansasi dipanggil untuk ke auditorium. Saat melihat ada nama
saya dan Erika, saya yang saat itu sedang jam pelajaran olahraga, langsung
berlari ke kelas Erika dan tak saya dapatkan dia di sana. Ternyata saat itu dia
sedang berada di kantin.
“Kok lu di kantin sih,
Er?,” pertanyaan pertama yang saya tanyakan ketika harus terengah-engah naik
turun tangga, hanya untuk mencari seorang Erika.
“Kalo di kelas gua
kepikiran, Ren,” sudah saya duga pasti itu alasannya. Seperti nya dia tidak
mengaktifkan handphone nya saat itu.
“Er, kita dipanggil ke auditorium.
Pengumuman OSK,”
“Sumpah, Ren?,” nada
khasnya saat bicara “sumpah” itu sepertinya akan selalu membekas dalam telinga
saya, bahkan sekalipun pada akhirnya nanti kita pisah kampus. Yang juga saya
ingat saat itu adalah sorotan matanya. Sorotan bahagia dan haru. Sorotan tawa
bercampur sedih. Saya mengerti apa yang terpikirkan olehnya saat itu. Lu hebat,
Er, hanya itu yang terbesit dalam pikiran saya saat itu.
Singkat cerita, ya,
kami, saya dan Erika berhasil memecahkan telur di tahun ini. Saya di posisi 6
dan Erika di posisi 10. Menandai sejarah pertama SMAN 1 Bekasi pernah menjadi
juara di OSK Geografi Kota Bekasi, walaupun saat itu kami belum tau berapa
orang yang akan bisa melaju ke tingkat Provinsi. Syukur yang tidak terhingga,
saat kami berhasil berdiri sejajar dengan satu sekolah yang sudah meletakkan
banyak seniornya di Geografi sekaligus juara bertahan dari sejak olimpiade ini
baru dicetuskan. Tatapan mata bahagia datang dari teman-teman seperjuangan dari
divisi lain dan juga guru pendamping saya.
“Terima kasih ya, Ren
sudah membawa Geografi pecah telur juga setelah 4 tahun. Tuh kan ibu bilang
juga apa, selagi kita ada kemauan, disitu Tuhan akan kasih jalan,” begitulah
kurang lebih kata-kata Bu Siti Marifah yang akrab dipanggil Bu Ipah saat saya
dan Erika keluar dari ruang auditorium.
Di sepanjang kepastian
menunggu yang akan diloloskan ke tingkat Provinsi, saya tetap mempersiapkannya.
Para guru optimis bahwa kuota yang dibawa masih akan sama seperti tahun lalu
yaitu delapan orang tiap bidang studi, tetapi…….. Kenyataan berkata lain.
Untuk
bidang Geografi hanya 5 juara yang dapat melaju ke tingkat Provinsi. Kecewa.
Terlalu naif jika saya memungkiri rasa itu pernah singgah. Tetapi saya mencoba
meyakinkan bahwa memang ini sudah yang terbaik untuk saya. Saya sudah mencoba,
saya sudah berusaha, tinggal bagaimana semesta menentukan arah selanjutnya.
Saya mungkin bukanlah
orang yang hebat. Saya tidak pernah merasakan nikmatnya atmosfer OSN. Saya
tidak pernah merasakan leher ini terasa berat karena dikalungkan sebuah
lempengan sebuah kebanggan. Saya belum pernah melalui itu semua, bahkan memang
bisa disebut tidak bisa merasakan di masa putih abu-abu ini. Tapi bagi saya,
kehidupan menuju OSN mengajarkan saya banyak hal. Belajar berjuang secara
ikhlas itulah yang terpenting. Belajar mengambil tantangan dan belajar
memandang sesuatu dengan berbeda. Dan di akhirnya, belajar untuk menerima
adalah yang harus saya miliki. Bagi saya, berjuang untuk hal yang disukai
adalah sebuah kebanggan, terlepas dari hasil yang akan didapatkan.
Komentar
Posting Komentar